Ali Rama
Pengurus Pusat Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI)
Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI)
dalam acara Milad ke-8 dan Mukernas (13/4) menghasilkan Blueprint Ekonomi Islam
yang akan menjadi acuan kebijakan (policy direction) bagi para
stakeholdersnya dalam pengembangan ekonomi Islam di tanah air dalam kurun waktu
yang panjang.Sebagaimana telah diketahui Bank
Indonesia (BI) pada tahun 2000 telah meluncurkan Blueprint Pengembangan
Perbankan Syariah Indonesia untuk jangka waktu 10 tahu dimana salah satu target utamanya adalah tercapainya
market share perbankan syariah sebesar 10 persen pada akhir tahun 2010.
Akan tetapi target tersebut tidak tercapai bahkan sampai tahun 2012 ini pangsa
pasarnya hanya sekitar 3.8 persen dari total aset perbankan nasional. Semangat
yang sama untuk mengembangkan perbankan syariah, pada tahun 2008 BI kemudian
melaunching Grand Strategi Pengembangan Pasar Perbankan Syariah di Indonesia.
Melalui strategi inilah kemudia diperkenalkan istilah iB (Islamic Banking)
sebagai marketing branding perbankan syariah. Strategi ini cukup sukses
mensosialisasikan industri perbankan syariah ke seluruh lapisan masyarakat. Misalnya
indikatornya adalah saat ini dengan mudah kita melihat logo iB di berbagai
event yang tidak hanya berhubngan dengan perbankan tapi sampai pada acara olah
raga dan film. Keseriusan Bank Indonesia dalam pengembangan perbankan syariah
di tanah air perlu diapresiasi, semoga semangat ini bisa tertularkan kepada
lembaga OJK yang nantinya akan mengambilalih otoritas ini.
IAEI sebagai salah satu pelaku
pengembangan ekonomi Islam di Indonesia merasa perlu membuat Blueprint Ekonomi
Islam sebagai acuan utama bagi para pelaku dan pengambil kebijakan. Blueprint
ini dianggap penting sebagaimana tercantum dalam blueprint tersebut yaitu
dikarenakan selama ini pengembangan ekonomi Islam bersifat parsial misal
perbankan, BMT dan Zakat sehingga terjadi ketidakseimbangan perkembangan
sektor-sektor tersebut. Oleh karena itu kehadiran cetak biru ekonomi Islam ini
sebagai langkah untuk mengintegrasikan dan menyinergikan semua langkah-langkah
dan kebijakan untuk memajukan ekonomi Islam secara menyeluruh dan tidak
parsial.
Tulisan ini tidak dikhususkan untuk
membahas blueprint ekonomi Islam tersebut tetapi akan membahas dua hal penting
yaitu pengembangan sumber daya insani sebagai pelaku utama penegakan ekonomi
Islam di bumi Indonesia dan perbaikan paradigma dalam memajukan ekonomi Islam.
Sumber Daya Insani (SDI)
Seiring dengan pesatnya pertumbuhan
industri keuangan dan perbankan syariah berdampak pada tingginya permintaan SDI
sebagai penopang utama pertumbuhannya. Menurut data dari Bank Indonesia jumlah
tenaga kerja yang bekerja di perbankan syariah mengalami perkembangan yang
sangat signifikan dalam 5 tahun belakangan ini. Pada tahun 2005 sekitar 3.523
bertambah menjadi 13.594 pada tahun 2010 yang bekerja di perbankan syariah.
Diperkirakan dibutuhkan sekitar 60 -70 ribu SDI untuk bekerja di perbankan
syariah dalam kurung 30 tahun ke depan.
Demand yang tinggi ini menjadi
tantangan bagi lembaga-lembaga pendidikan sebagai institusi yang paling
berkompeten dalam menciptakan SDM profesional untuk menunjang pertumbuhan
industri keuangan dan perbankan syariah. Salah satu tugas utama lembaga
pendidikan adalah melinkan antara kapasitas/kompetensi output lulusannnya
dengan kebutuhan industrinya atau dengan istilah link and match.
Kompetensi SDI yang harusnya
dilahirkan oleh institusi pendidikan adalah SDI berkualitas integratif, yaitu
memiliki kapasitas keilmuan yang memadai dalam bidang kesyariahan dan ilmu
ekonomi. Setidaknya ada tiga kualifikasi sumber daya manusia ekonomi Islam yang
dapat dihasilkan oleh lembaga pendidikan (Euis dkk, 2012), yaitu: Pertama,
sumber daya manusia yang memiliki spesialisasi atau keahlian pada ilmu syariah,
namun memahami ilmu ekonomi; kedua, sumber daya manusia yang memiliki
spesialisasi atau keahlian pada ilmu ekonomi, namu memamahi syariah; dan ketiga,
sumber daya manusia yang memiliki spesialisasi atau keahlian pada ilmu syariah
dan ilmu ekonomi. Tipikal SDM yang ketiga inilah yang dinamakan sumber daya
manusia Islam berkualitas integratif yang seharusnya dihasilkan oleh lembaga
pendidikan yang menerapkan konsep pendidikan ekonomi Islam integratif demi
mewujudkan terciptanya sitem ekonomi Islam yang komprehensif dalam kehidupan
manusia.
Hal lain yang perlu juga ditekankan
adalah lembaga pendidikan tidak hanya bertujuan untuk membangun keilmuan dan
skill SDI tapi juga membentuk karakter dan perilakunya yang sesuai dengan
ajaran Islam yaitu dimensi moral dan akhlaknya. SDI yang didik bukan hanya
supaya mereka dapat diserap oleh lapangan kerja tapi utamanya adalah “homo
Islamicus” yaitu SDI yang berperilaku sesuai dengan ajaran Islam. Karakter
inilah yang menjadi benteng atas kemungkinan terjadinya moral hazard
yang bisa saja terjadi di lembaga keuangan syariah.
Paradigma Pengembangan Ekonomi Islam
Sangat disadari bahwa perkembangan
ekonomi Islam di dunia Muslim saat ini sangat identik dengan keuangan dan
perbankan. Ini tidak terlepas dari pendekatan parsial yang telah dilakukan
khususnya terciptanya sistem perbankan yang bebas riba (suku bunga) dimana
ajaran Islam di sini sangat instrumental dan praktis.
Alasan lainnya kenapa memilih
keuangan dan perbankan sebagai objek utama “Islamisasi” sistem ekonomi
dikarenakan sektor ini sangat berperan strategi bagi kehidupan manusia. Di
sektor inilah mayoritas uang beredar dan hampir tidak ada sektor bisnis saat
ini yang tidak membutuhkan lembaga keuangan sebagai sumber pembiayaan. Artinya,
jika sektor yang sangat penting dan startegis ini dapat “diislamkan” maka akan
berkontribusi besar dalam menciptakan keadilan dalam sistem ekonomi sebagaimana
tuuan dari ekonomi Islam itu sendiri.
Namun konsekuensinya jika
pengembangan ekonomi Islam didominasi oleh keuangan dan perbankan syariah saja
akan membuatnya sangat tergantung pada modal yang besar. Sementara permodalan
adalah salah satu kelemahan yang dialami oleh negara-negara Islam yang sedang
berkembang. Di Indonesia misalnya, meskipun regulasinya sudah cukup memadai,
jumlah penduduknya yang besar tapi toh juga market share industri
keuangan perbankan syariah masih saja kecil, sekitar 3,8 persen. Kelemahan
permodalan ini pada akhirnya akan membuat industri kuangan syariah akan
“dicaplok” oleh kaum pemilik modal (kapitalisme) demi mecari keuntungan dari
Industri ini yang terus berkembang.
Justru seharusnya ekonomi Islam
sebagaimana diungkapkan oleh Umar Chapra bertujuan untuk menganalisis penyebab
kenapa terjadi gap antara ajaran Islam dengan perilaku umatnya. Sehingga
ekonomi Islam berkontribusi mendekatkan idealitas ekonomi Islam dengan realitas
perekonomi Muslim saat ini. Itulah seharusnya kontribusi ekonomi Islam dalam
kebangkitan ekonomi negara-negara Muslim saat ini. Wallahu’alambissawab.
*Tulisan ini diterbitkan di Opini Koran Republika (20/4/2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar