Sabtu, 21 April 2012

MENDEKATKAN IDEALITAS KE REALITAS


Ali Rama
Pengurus Pusat Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI)
Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI) dalam acara Milad ke-8 dan Mukernas (13/4) menghasilkan Blueprint Ekonomi Islam yang akan menjadi acuan kebijakan (policy direction) bagi para stakeholdersnya dalam pengembangan ekonomi Islam di tanah air dalam kurun waktu yang panjang.Sebagaimana telah diketahui Bank Indonesia (BI) pada tahun 2000 telah meluncurkan Blueprint Pengembangan Perbankan Syariah Indonesia untuk jangka waktu 10 tahu dimana  salah satu target utamanya adalah tercapainya market share perbankan syariah sebesar 10 persen pada akhir tahun 2010. Akan tetapi target tersebut tidak tercapai bahkan sampai tahun 2012 ini pangsa pasarnya hanya sekitar 3.8 persen dari total aset perbankan nasional. Semangat yang sama untuk mengembangkan perbankan syariah, pada tahun 2008 BI kemudian melaunching Grand Strategi Pengembangan Pasar Perbankan Syariah di Indonesia. Melalui strategi inilah kemudia diperkenalkan istilah iB (Islamic Banking) sebagai marketing branding perbankan syariah. Strategi ini cukup sukses mensosialisasikan industri perbankan syariah ke seluruh lapisan masyarakat. Misalnya indikatornya adalah saat ini dengan mudah kita melihat logo iB di berbagai event yang tidak hanya berhubngan dengan perbankan tapi sampai pada acara olah raga dan film. Keseriusan Bank Indonesia dalam pengembangan perbankan syariah di tanah air perlu diapresiasi, semoga semangat ini bisa tertularkan kepada lembaga OJK yang nantinya akan mengambilalih otoritas ini.
IAEI sebagai salah satu pelaku pengembangan ekonomi Islam di Indonesia merasa perlu membuat Blueprint Ekonomi Islam sebagai acuan utama bagi para pelaku dan pengambil kebijakan. Blueprint ini dianggap penting sebagaimana tercantum dalam blueprint tersebut yaitu dikarenakan selama ini pengembangan ekonomi Islam bersifat parsial misal perbankan, BMT dan Zakat sehingga terjadi ketidakseimbangan perkembangan sektor-sektor tersebut. Oleh karena itu kehadiran cetak biru ekonomi Islam ini sebagai langkah untuk mengintegrasikan dan menyinergikan semua langkah-langkah dan kebijakan untuk memajukan ekonomi Islam secara menyeluruh dan tidak parsial.
Tulisan ini tidak dikhususkan untuk membahas blueprint ekonomi Islam tersebut tetapi akan membahas dua hal penting yaitu pengembangan sumber daya insani sebagai pelaku utama penegakan ekonomi Islam di bumi Indonesia dan perbaikan paradigma dalam memajukan ekonomi Islam.
Sumber Daya Insani (SDI)
Seiring dengan pesatnya pertumbuhan industri keuangan dan perbankan syariah berdampak pada tingginya permintaan SDI sebagai penopang utama pertumbuhannya. Menurut data dari Bank Indonesia jumlah tenaga kerja yang bekerja di perbankan syariah mengalami perkembangan yang sangat signifikan dalam 5 tahun belakangan ini. Pada tahun 2005 sekitar 3.523 bertambah menjadi 13.594 pada tahun 2010 yang bekerja di perbankan syariah. Diperkirakan dibutuhkan sekitar 60 -70 ribu SDI untuk bekerja di perbankan syariah dalam kurung 30 tahun ke depan.
Demand yang tinggi ini menjadi tantangan bagi lembaga-lembaga pendidikan sebagai institusi yang paling berkompeten dalam menciptakan SDM profesional untuk menunjang pertumbuhan industri keuangan dan perbankan syariah. Salah satu tugas utama lembaga pendidikan adalah melinkan antara kapasitas/kompetensi output lulusannnya dengan kebutuhan industrinya atau dengan istilah link and match.
Kompetensi SDI yang harusnya dilahirkan oleh institusi pendidikan adalah SDI berkualitas integratif, yaitu memiliki kapasitas keilmuan yang memadai dalam bidang kesyariahan dan ilmu ekonomi. Setidaknya ada tiga kualifikasi sumber daya manusia ekonomi Islam yang dapat dihasilkan oleh lembaga pendidikan (Euis dkk, 2012), yaitu: Pertama, sumber daya manusia yang memiliki spesialisasi atau keahlian pada ilmu syariah, namun memahami ilmu ekonomi; kedua, sumber daya manusia yang memiliki spesialisasi atau keahlian pada ilmu ekonomi, namu memamahi syariah; dan ketiga, sumber daya manusia yang memiliki spesialisasi atau keahlian pada ilmu syariah dan ilmu ekonomi. Tipikal SDM yang ketiga inilah yang dinamakan sumber daya manusia Islam berkualitas integratif yang seharusnya dihasilkan oleh lembaga pendidikan yang menerapkan konsep pendidikan ekonomi Islam integratif demi mewujudkan terciptanya sitem ekonomi Islam yang komprehensif dalam kehidupan manusia.
Hal lain yang perlu juga ditekankan adalah lembaga pendidikan tidak hanya bertujuan untuk membangun keilmuan dan skill SDI tapi juga membentuk karakter dan perilakunya yang sesuai dengan ajaran Islam yaitu dimensi moral dan akhlaknya. SDI yang didik bukan hanya supaya mereka dapat diserap oleh lapangan kerja tapi utamanya adalah “homo Islamicus” yaitu SDI yang berperilaku sesuai dengan ajaran Islam. Karakter inilah yang menjadi benteng atas kemungkinan terjadinya moral hazard yang bisa saja terjadi di lembaga keuangan syariah.
Paradigma Pengembangan Ekonomi Islam
Sangat disadari bahwa perkembangan ekonomi Islam di dunia Muslim saat ini sangat identik dengan keuangan dan perbankan. Ini tidak terlepas dari pendekatan parsial yang telah dilakukan khususnya terciptanya sistem perbankan yang bebas riba (suku bunga) dimana ajaran Islam di sini sangat instrumental dan praktis.
Alasan lainnya kenapa memilih keuangan dan perbankan sebagai objek utama “Islamisasi” sistem ekonomi dikarenakan sektor ini sangat berperan strategi bagi kehidupan manusia. Di sektor inilah mayoritas uang beredar dan hampir tidak ada sektor bisnis saat ini yang tidak membutuhkan lembaga keuangan sebagai sumber pembiayaan. Artinya, jika sektor yang sangat penting dan startegis ini dapat “diislamkan” maka akan berkontribusi besar dalam menciptakan keadilan dalam sistem ekonomi sebagaimana tuuan dari ekonomi Islam itu sendiri.
Namun konsekuensinya jika pengembangan ekonomi Islam didominasi oleh keuangan dan perbankan syariah saja akan membuatnya sangat tergantung pada modal yang besar. Sementara permodalan adalah salah satu kelemahan yang dialami oleh negara-negara Islam yang sedang berkembang. Di Indonesia misalnya, meskipun regulasinya sudah cukup memadai, jumlah penduduknya yang besar tapi toh juga market share industri keuangan perbankan syariah masih saja kecil, sekitar 3,8 persen. Kelemahan permodalan ini pada akhirnya akan membuat industri kuangan syariah akan “dicaplok” oleh kaum pemilik modal (kapitalisme) demi mecari keuntungan dari Industri ini yang terus berkembang.
Justru seharusnya ekonomi Islam sebagaimana diungkapkan oleh Umar Chapra bertujuan untuk menganalisis penyebab kenapa terjadi gap antara ajaran Islam dengan perilaku umatnya. Sehingga ekonomi Islam berkontribusi mendekatkan idealitas ekonomi Islam dengan realitas perekonomi Muslim saat ini. Itulah seharusnya kontribusi ekonomi Islam dalam kebangkitan ekonomi negara-negara Muslim saat ini. Wallahu’alambissawab.
*Tulisan ini diterbitkan di Opini Koran Republika (20/4/2012)


Minggu, 01 April 2012

Arsitektur Ilmu Ekonomi Islam


Ali Rama
Dosen Ekonomi Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Dalam sebuah Workshop Nasional bertajuk “Arsitektur Ilmu Ekonomi Islam” yang diselenggarakan oleh UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (28/2/2012) menghadirkan pakar eknomi Islam, pelaku industri, akademisi dan pihak regulator. Acara ini didasari oleh keinginan untuk mengkonstruksi ilmu ekonomi Islam yang solid dan teruji yang kemudian dapat diterjemahkan dalam bentuk satuan kurikulum, lembaga dan institusi dan peraturan dan kebijakan.
Prof. Dr. Dawam Rahardjo yang tampil sebagai salah satu pembicara dalam acara tersebut mengilustrasikan rancang bangun ekonomi Islam layaknya sebagai sebuah rumah yang memiliki (i) fondasi sebagai nilai-nilai fundamental, (ii) lantai dasar sebagai sektor ekonomi dan pelaku ekonomi, (iii) tiang atau pilar sebagai prinsip-prinsip, (iv) plafon sebagai doktrin, dan (v) atap sebagai tujuan dan hakekat. Jika desain sudah jelas maka dengan mudah akan menyusun sistem ekonomi Islam, baik mikro maupun makro. Sehingga akhirnya menjadi sebuah sistem yang universal seperti kapitalisme, sosialisme atau sosial demokrasi.
Tambahnya, gagasan ekonomi Islam awal mulanya didesain sebagai sistem ekonomi makro universal sebagai bagian dari ideologi Islamisme. Kemudian wacana ideologi ini dikembangkan menjadi teori-teori ekonomi oleh sarjana-sarjana profesional hasil pendidikan Barat dimana pembentukan lembaga-lembaga keuangan (bank Islam) sebagai bentuk instruemtalnya.
Citra ekonomi Islam yang selalu identik dengan keuangan dan perbankan syariah pada hakekatnya mempersempit kajian ekonomi Islam yang tadinya bersifat makro menjadi mikro. Hal ini juga diungkapkan oleh Prof. Dr. Edi-Sri Swasono yang melihat perkembangan ekonomi Islam tereduksi hanya pada upaya membangun lembaga-lembaga keuangan syariah dimana riba hanya dipersempit menjadi bunga perbankan saja. Padahal menurutnya sistem ekonomi usurious tidak lain adalah bentuk ekonomi eksploitatif yang memelihara dan menumbuhkan kesenjangan ekonomi, membiarkan terjadinya trade off secara sistemik untuk kerugian si miskin dan si lemah dan membiarkan merajalelanya brutalitas laissez-faire.
Perkembangan ekonomi Islam yang didominasi oleh keuangan dan perbankan syariah yang menggunakan pendekatan pragmatis-instrumentalis justru menurut Prof. Dr. Dawam Rahardjo akan mengalami fenomena seperti yang dikemukakan oleh Paul Omerod sebagai the death of economics, dimana ekonomi dipandang semata-mata sebagai masalah bisnis dan keuangan yang menguntungkan seperti nampak dalam respon terhadap produk-produk keuangan syariah. Marak dan tingginya tingkat penerimaan keuangan dan perbankan syariah di negara-negara Barat dan Eropa tidak terlepas dari “corak kapitalisme”-nya yang menguntungkan dan potensi pasar Islam yang besar. Konsentrasi pengembangan ekonomi Islam pada sektor keuangan membuatnya sangat tergantung pada modal yang besar dan permodalan adalah salah satu kelemahan yang dialami oleh negara-negara Islam yang sedang berkembang. Di Indonesia misalnya, meskipun regulasinya sudah cukup memadai, jumlah penduduknya yang besar tapi toh juga market share industri keuangan perbankan syariah masih saja kecil, sekitar 3,5 persen. Kelemahan permodalan ini pada akhirnya akan membuat industri kuangan syariah akan “dicaplok” oleh kaum pemilik modal (kapitalisme) demi mecari keuntungan dari Industri ini yang terus berkembang.
Sementara itu, Dr. Makhlani justru melihat ramainya negara-negara Barat dan Eropa terlibat dalam industri keuangan syariah sebagai peluang untuk membawa sistem ekonomi Islam menjadi milik global, sejalan dengan konsep Islam sebagai rahamatan lil’alamin. Industri ini merupakan sarana dakwah yang soft tanpa menimbulkan gesekan-gesekan seperti yang dikhawatirkan oleh Huntington melalui bukunya Clash of Civilization. Bahkan menurut Dr. Euis Amalia melalui bukunya, Potret Pendidikan Eonomi Islam di Indonesia (2012), sektor keuangan syariah ini justru menjadi pintu masuk bagi para pemikir ekonom Islam dan non-Muslim untuk mendalami ekonomi Islam sebagai sebuah ilmu dan sistem.
Ilmu ekonomi yang dipelajari di lembaga perguruan tinggi selama ini masih sangat didominasi oleh pandangan ekonom neoklasik yang titik beratnya adalah persaingan bebas. Buku teks yang menjadi rujukan utama masih buku Economics karya Paul A. Samuelson yang sangat kental corak pemikiran neoklasikalnya. Kenyataan ini kemudian disebut oleh Prof. Dr. Sri-Edi Swasono sebagai “hegemoni akademis”. Dalam buku-buku tersebut mahasiswa hanya diajarkan tentang persaingan melalui kekuatan pasar tanpa sedikitpun diajarkan tentang kerjasama, keadilan, persaudaraan, dll sebagaimana termaktub dalam konstitusi negara kita (lihat pasal 27, 33 dan 34 UUD 1945).
Di sinilah pentingnya keberadaan konstruksi arsitektur ilmu ekonomi Islam yang memiliki corak yang berbeda dengan ekonomi konvensional. Manusia sebagai pelaku ekonomi harus dilihat secara multidimensi yang memiliki motif ekonomi, moral, sosial dan agama.
Secara sejarah, pengembangan ekonomi Islam tidak terlepas dari pengaruh munculnya wacana Islamisai Ilmu Pengetahuan yang ramai diperbincangkan pada tahun 1970-an oleh berbagai sarjana Muslim dari berbagai disiplin ilmu. Gagasan Islamisasi Ilmu identik dengan dua intelektual Muslim, yaitu Alatas dan al-Faruqi. Alatas menekankan konsep Islamisasi Ilmu Pengetahuan pada penggalian genuitas tradisi lokal. Peradaban Islam klasik telah cukup lama berinteraksi dengan peradaban lain, sehingga umat Islam sudah memiliki kapasitas untuk mengembangkan bangunan ilmu pengetahuan sendiri. Pendekatan ini ingin menyebut ekonomi Islam sebagai “iqtishoduna” yaitu konsep ekonomi yang bersumber dari ajaran Islam itu sendiri dan bukan adaptasi dari ekonomi konvensional yang sudah ada.
Berbeda dengan Alatas, Al-Faruqi cenderung menerima konstruksi ilmu modern dengan syarat memasukkan prinsipi-prinsip Islam kedalamnya dan mengeliminasi unsur sekularismenya. Pendekatan Islamisasi Ilmu ala al-Faruqi menjadi arus dominan dalam pengembangan ekonomi Islam (keuangan dan perbankan syariah) di dunia begitupula di tanah air.
Kelompok pemikir yang mengembangkan ekonomi Islam juga dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok ahli hukum yang menggunakan pendekatan legalistik yang kemudian dengan cepat mengalami proses institusionalisasi dan legislasi di berbagai negara. Pendekatan inilah kemudia kenapa kajian ekonomi Islam awal mulanya berkembang di Fakultas Syariah di lingkungan UIN/IAIN/STAIN.
Kelompok kedua adalah kelompok prefesional hasil pendidikan Barat yang mengembangkan ekonomi Islam berbasis ekonomi konvensional. Corak keilmuan ekonomi Islam melalui pendekatan ini sangat dipengaruhi oleh ekonomi konvensional. Pendekatan ini menjadi pendorong munculnya kajian ekonomi Islam di perguruan tinggi umum di bawah naungan fakultas ekonomi.
Penggunaan istilah ekonomi Islam dan atau ekonomi syariah dan begitupula apakah ekonomi Islam berada di bawah fakultas syariah atau fakultas ekonomi di lingkungan UIN perlu diperjelas. Karena hal ini, menurut Dr. Euis Amalia akan berpengaruh pada titik penekanan kompetensi keilmuan dan gelar kesarjanaan. Pengistilahan ini juga akan berpengaruh pada tataran kebijakan dan regulasi. Wallahu’alambissawab.
Jakarta, 29 Februari 2012.

Minggu, 25 Maret 2012

Konstruksi Ekonomi Islam Integratif


Oleh: Ali Rama
Dosen Ekonomi dan Perbankan
Pesatnya perkembangan industri keuangan syariah adalah refleksi dari maraknya kajian ekonomi Islam yang dilakukan di berbagai belahan dunia Muslim dalam beberapa dekade belakangan ini. Kehadiran ekonomi Islam dan derivasinya seperti keuangan dan perbankan syariah tidak terlepas dari pengaruh munculnya wacana Islamisai Ilmu Pengetahuan yang ramai diperbincangkan pada tahun 1970-an oleh berbagai sarjana Muslim dari berbagai disiplin ilmu. Gagasan Islamisasi Ilmu identik dengan dua intelektual Muslim, yaitu Alatas dan al-Faruqi. Al-Faruqi cenderung menerima konstruksi ilmu modern dengan syarat memasukkan prinsipi-prinsip Islam kedalamnya dan mengeliminasi unsur sekularismenya.
Berbeda dengan al-Faruqi, Alatas terlihat lebih menekankan konsep Islamisasi Ilmu Pengetahuan pada penggalian genuitas tradisi lokal. Peradaban Islam klasik telah cukup lama berinteraksi dengan peradaban lain, sehingga umat Islam sudah memiliki kapasitas untuk mengembangkan bangunan ilmu pengetahuan sendiri. Tanpa bantuan ilmu pengetahuan Barat modern, diyakini dengan hanya merujuk pada tradisi dan khasanahnya sendiri umat Islam mampu menciptakan peradabannya (Yusdani, 2007).
Pendekatan Islamisasi Ilmu ala al-Faruqi menjadi arus dominan dalam pengembangan ekonomi Islam (keuangan dan perbankan syariah) di tanah air. Awalnya, gerakan Islamisasi ilmu dalam bidang ilmu ekonomi dianggap sebagai gerakan intelektual yang bermaksud untuk mengkonstruksi bangunan ilmu ekonomi dalam perspektif Islam demi mencari kebenaran. Akan tetapi belakangan ini, ekonomi Islam lebih identik dengan keuangan dan perbankan syariah yang memiliki orientasi politik-ekonomi.
Ekonomi Islam Integratif
Para ahli ekonomi Islam mendefinisikan Ilmu Ekonomi Islam secara berbeda. Menurut Muhamad Anas Zarqa, ilmu ekonomi Islam terdiri atas dua bagian; pertama, bagian yang mengkaji sistem ekonomi Islam dan kedua, bagian yang mengkaji perilaku Muslim dalam sistem tersebut. Sementara Mohamad Arif mengkategorikan ekonomi Islam sebagai bagian dari ilmu sosial. Sehingga masyarakat Islam berbeda dengan masyarakat kapitalis dan komunis dari segi nilai moral, institusi dan tujuan hidup masyarakatnya. Karenanya secara logis, perilaku Muslim sebagai economic agent berbeda dengan dua sistem itu (kapitalis dan komunis).
Perkembangan kajian ekonomi Islam sebagai sebuah ilmu (body of knowledge) tidak terlepas dari kontribusi intelektual Muslim yang berkecimpung di lembaga pendidikan. Perguruan tinggi sebagai lembaga pendidikan memiliki peran strategis dalam pengembangan ilmu Islam integratif, apalagi selama ini perguruan tinggi adalah institusi yang paling berkompoten menciptakan SDM profesional untuk menunjang pertumbuhan industri keuangan dan perbankan syariah.
Kajian ekonomi Islam integratif adalah manifestasi dari gerakan integrasi ilmu yang dilakukan di berbagai Perguruan Tinggi Islam di tanah air. UIN, misalnya sebagaimana tercantum dalam grand design-nya, adalah perguruan tinggi Islam yang mengintegrasikan atau menginterkoneksikan ilmu-ilmu keislaman dengan ilmu-ilmu umum pada tataran keilmuan, bukan sekedar menjadikan program studi/fakultas umum atau mata kuliah umum berdampingan dengan program studi/fakultas agama (Supriatma dan Pattiroy, 2001).
Mendiskusikan ilmu ekonomi sebagai sebuah ilmu tentu pembahasannya akan mengarah pada hal-hal yang fundamental dari sebuah ilmu, yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi. Pengembangan ilmu ekonomi dalam Islam tidak terlepas dari spektrum dan dimensi tauhid. Artinya, Tuhan merupakan faktor yang tidak dapat terpisahkan dari ilmu ekonomi.
Konsep integrasi keilmuan yang menganut paradigma tauhidy (kesatuan) dalam pendidikan ekonomi Islamintegratif tidak mendikotomikan antara ilmu sekuler dan ilmu agama atau ilmu agama dan ilmu umum..
Dalam tataran praksis pembelajaran, integrasi keilmuan harus tercermin dalam, setidaknya empat komponen, yaitu (1) materi pembelajaran, (2) metode pembelajaran, (3) media pembelajaran, dan(4) evaluasi pembelajaran. Sementara muatan kurikulumnya mencapai sasaran yang meliputi penguasaan bahasa Arab dan Inggris, penguasaan ilmu-ilmu dasar kesyariahan, penguasaan ilmu ekonomi Islam, pengausaan ilmu ekonomi umum dan penguasaan metodologi penelitian. Tentunya, kurikulum didesain dengan kerangka integrasi keilmuan, menghilangkan sekat-sekat dikotomis pada tataran ontologi, epistemologi dan aksiologi ilmu ekonomi yang hendak dikembangkan (Euis, dkk, 2010).
Pendidikan ekonomi Islam integratif yang seharusnya diterapkan di lembaga perguruan tinggi di tanah air dapat menghasilkan sumber daya manusia integratif yang memiliki kapasitas keilmuan yang memadai dalam bidang kesyariahan dan ilmu ekonomi. Setidaknya ada tiga kualifikasi sumber daya manusia ekonomi Islam yang dapat dihasilkan oleh lembaga pendidikan (Muhammad, 2010), yaitu: Pertama, sumber daya manusia yang memiliki spesialisasi atau keahlian pada ilmu syariah, namun memahami ilmu ekonomi; kedua, sumber daya manusia yang memiliki spesialisasi atau keahlian pada ilmu ekonomi, namu memamahi syariah; dan ketiga, sumber daya manusia yang memiliki spesialisasi atau keahlian pada ilmu syariah dan ilmu ekonomi. Tipikal SDM yang ketiga inilah yang dinamakan sumber daya manusia Islam berkualitas integratif yang seharusnya dihasilkan oleh lembaga pendidikan yang menerapkan konsep pendidikan ekonomi Islam integratif demi mewujudkan terciptanya sitem ekonomi Islam yang komprehensif dalam kehidupan manusia.
Sumber daya manusia berkualitas integratif sebagai output pendidikan ekonomi Islam integratif sangat berpengaruh dalam pengembangan kualitas keuangan dan perbankan syariah. Lembaga pendidikan harus menjadi basis pengembangan konstruksi ekonomi Islam sebagai sebuah ilmu yang pada akhirnya melahirkan pelaku-pelaku ekonomi yang dapat menerapkan konsep ekonomi Islam yang tidak parsial tetapi menyeluruh dalam sistem ekonomi.
Kajian ekonomi Islam sebagai sebuah kegiatan intelektual yang murni mencari kebenaran harus terus dilakukan sehingga batan tubuh ilmu ekonomi Islam semakin kuat, solid dan teruji. Pendidikan ekonomi Islam di berbagai perguruan tinggi jangan hanya didesain untuk memenuhi kebutuhan SDM industri keuangan dan perbankan tapi juga didesain untuk menghasilkan intelektual-intelektual yang dapat mengkaji dan mengembangkan ekonomi Islam sebagai sebuah ilmu yang dapat diterima secara umum. Usaha ini sebagai bentuk “saintifikasi” ekonomi Islam. Wallahu’alambissawab.
Jakarta, 17 Januari 2012

Konstruksi Ekonomi Islam Integratif


Oleh: Ali Rama
Dosen Ekonomi Islam
Pesatnya perkembangan industri keuangan syariah adalah refleksi dari maraknya kajian ekonomi Islam yang dilakukan di berbagai belahan dunia Muslim dalam beberapa dekade belakangan ini. Kehadiran ekonomi Islam dan derivasinya seperti keuangan dan perbankan syariah tidak terlepas dari pengaruh munculnya wacana Islamisai Ilmu Pengetahuan yang ramai diperbincangkan pada tahun 1970-an oleh berbagai sarjana Muslim dari berbagai disiplin ilmu. Gagasan Islamisasi Ilmu identik dengan dua intelektual Muslim, yaitu Alatas dan al-Faruqi. Al-Faruqi cenderung menerima konstruksi ilmu modern dengan syarat memasukkan prinsipi-prinsip Islam kedalamnya dan mengeliminasi unsur sekularismenya.
Berbeda dengan al-Faruqi, Alatas terlihat lebih menekankan konsep Islamisasi Ilmu Pengetahuan pada penggalian genuitas tradisi lokal. Peradaban Islam klasik telah cukup lama berinteraksi dengan peradaban lain, sehingga umat Islam sudah memiliki kapasitas untuk mengembangkan bangunan ilmu pengetahuan sendiri. Tanpa bantuan ilmu pengetahuan Barat modern, diyakini dengan hanya merujuk pada tradisi dan khasanahnya sendiri umat Islam mampu menciptakan peradabannya (Yusdani, 2007).
Pendekatan Islamisasi Ilmu ala al-Faruqi menjadi arus dominan dalam pengembangan ekonomi Islam (keuangan dan perbankan syariah) di tanah air. Awalnya, gerakan Islamisasi ilmu dalam bidang ilmu ekonomi dianggap sebagai gerakan intelektual yang bermaksud untuk mengkonstruksi bangunan ilmu ekonomi dalam perspektif Islam demi mencari kebenaran. Akan tetapi belakangan ini, ekonomi Islam lebih identik dengan keuangan dan perbankan syariah yang memiliki orientasi politik-ekonomi.
Ekonomi Islam Integratif
Para ahli ekonomi Islam mendefinisikan Ilmu Ekonomi Islam secara berbeda. Menurut Muhamad Anas Zarqa, ilmu ekonomi Islam terdiri atas dua bagian; pertama, bagian yang mengkaji sistem ekonomi Islam dan kedua, bagian yang mengkaji perilaku Muslim dalam sistem tersebut. Sementara Mohamad Arif mengkategorikan ekonomi Islam sebagai bagian dari ilmu sosial. Sehingga masyarakat Islam berbeda dengan masyarakat kapitalis dan komunis dari segi nilai moral, institusi dan tujuan hidup masyarakatnya. Karenanya secara logis, perilaku Muslim sebagai economic agent berbeda dengan dua sistem itu (kapitalis dan komunis).
Perkembangan kajian ekonomi Islam sebagai sebuah ilmu (body of knowledge) tidak terlepas dari kontribusi intelektual Muslim yang berkecimpung di lembaga pendidikan. Perguruan tinggi sebagai lembaga pendidikan memiliki peran strategis dalam pengembangan ilmu Islam integratif, apalagi selama ini perguruan tinggi adalah institusi yang paling berkompoten menciptakan SDM profesional untuk menunjang pertumbuhan industri keuangan dan perbankan syariah.
Kajian ekonomi Islam integratif adalah manifestasi dari gerakan integrasi ilmu yang dilakukan di berbagai Perguruan Tinggi Islam di tanah air. UIN, misalnya sebagaimana tercantum dalam grand design-nya, adalah perguruan tinggi Islam yang mengintegrasikan atau menginterkoneksikan ilmu-ilmu keislaman dengan ilmu-ilmu umum pada tataran keilmuan, bukan sekedar menjadikan program studi/fakultas umum atau mata kuliah umum berdampingan dengan program studi/fakultas agama (Supriatma dan Pattiroy, 2001).
Mendiskusikan ilmu ekonomi sebagai sebuah ilmu tentu pembahasannya akan mengarah pada hal-hal yang fundamental dari sebuah ilmu, yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi. Pengembangan ilmu ekonomi dalam Islam tidak terlepas dari spektrum dan dimensi tauhid. Artinya, Tuhan merupakan faktor yang tidak dapat terpisahkan dari ilmu ekonomi.
Konsep integrasi keilmuan yang menganut paradigma tauhidy (kesatuan) dalam pendidikan ekonomi Islamintegratif tidak mendikotomikan antara ilmu sekuler dan ilmu agama atau ilmu agama dan ilmu umum..
Dalam tataran praksis pembelajaran, integrasi keilmuan harus tercermin dalam, setidaknya empat komponen, yaitu (1) materi pembelajaran, (2) metode pembelajaran, (3) media pembelajaran, dan(4) evaluasi pembelajaran. Sementara muatan kurikulumnya mencapai sasaran yang meliputi penguasaan bahasa Arab dan Inggris, penguasaan ilmu-ilmu dasar kesyariahan, penguasaan ilmu ekonomi Islam, pengausaan ilmu ekonomi umum dan penguasaan metodologi penelitian. Tentunya, kurikulum didesain dengan kerangka integrasi keilmuan, menghilangkan sekat-sekat dikotomis pada tataran ontologi, epistemologi dan aksiologi ilmu ekonomi yang hendak dikembangkan (Euis, dkk, 2010).
Pendidikan ekonomi Islam integratif yang seharusnya diterapkan di lembaga perguruan tinggi di tanah air dapat menghasilkan sumber daya manusia integratif yang memiliki kapasitas keilmuan yang memadai dalam bidang kesyariahan dan ilmu ekonomi. Setidaknya ada tiga kualifikasi sumber daya manusia ekonomi Islam yang dapat dihasilkan oleh lembaga pendidikan (Muhammad, 2010), yaitu: Pertama, sumber daya manusia yang memiliki spesialisasi atau keahlian pada ilmu syariah, namun memahami ilmu ekonomi; kedua, sumber daya manusia yang memiliki spesialisasi atau keahlian pada ilmu ekonomi, namu memamahi syariah; dan ketiga, sumber daya manusia yang memiliki spesialisasi atau keahlian pada ilmu syariah dan ilmu ekonomi. Tipikal SDM yang ketiga inilah yang dinamakan sumber daya manusia Islam berkualitas integratif yang seharusnya dihasilkan oleh lembaga pendidikan yang menerapkan konsep pendidikan ekonomi Islam integratif demi mewujudkan terciptanya sitem ekonomi Islam yang komprehensif dalam kehidupan manusia.
Sumber daya manusia berkualitas integratif sebagai output pendidikan ekonomi Islam integratif sangat berpengaruh dalam pengembangan kualitas keuangan dan perbankan syariah. Lembaga pendidikan harus menjadi basis pengembangan konstruksi ekonomi Islam sebagai sebuah ilmu yang pada akhirnya melahirkan pelaku-pelaku ekonomi yang dapat menerapkan konsep ekonomi Islam yang tidak parsial tetapi menyeluruh dalam sistem ekonomi.
Kajian ekonomi Islam sebagai sebuah kegiatan intelektual yang murni mencari kebenaran harus terus dilakukan sehingga batan tubuh ilmu ekonomi Islam semakin kuat, solid dan teruji. Pendidikan ekonomi Islam di berbagai perguruan tinggi jangan hanya didesain untuk memenuhi kebutuhan SDM industri keuangan dan perbankan tapi juga didesain untuk menghasilkan intelektual-intelektual yang dapat mengkaji dan mengembangkan ekonomi Islam sebagai sebuah ilmu yang dapat diterima secara umum. Usaha ini sebagai bentuk “saintifikasi” ekonomi Islam. Wallahu’alambissawab.
Jakarta, 17 Januari 2012

Selasa, 07 Februari 2012

Saudagar Dermawan


Oleh Ali Rama
Gairah berwirausaha masyarakat di Indonesia masih terlalu rendah, masih berada di bawah satu persen dari total jumlah penduduknya. Persentasi ini jauh tertinggal dibandingkan dengan Negara-negara lain seperti Malaysia, Singapura dan Amerika Serikat yang masing-masing sebesar 5 persen, 7 persen dan 11 persen. Kemandirian suatu bangsa sangat tergantung pada jumlah wirausaha yang dimilikinya.
Rendahnya jumlah pengusaha di tanah air tidak terlepas dari persepsi di sebagian besar masyarakat kita yang menganggap bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagai tolak ukur kesuksesan paska menempuh jenjang pendidikan. Akibatnya, banyak pelajar menempuh pendidikan hanya berorientasi menjadi PNS. Jarang yang ingin mandiri membuka usaha sendiri.
Saat ini, berbagai kampus sudah banyak yang menawarkan pendidikan kewirausahaan dengan tujuan agar mahasiswa dapat terjung dalam dunia wirausaha sebagai profesi yang menjanjikan dibandingkan dengan profesi sebagai PNS. Semangat untuk menumbuhkan kreatifitas usaha pada diri mahasiswa yang berujung pada pembukaan lapangan pekerjaan menjadi target utama dari mata kuliah ini. Bahkan harian republika secara berturut-turut menampilkan kisah sukses para wirausahawan muda dalam rupriknya beberapa belakangan ini. Ini sebagai usaha nyata untuk membangkitkan gairah berwirausaha di kalangan masyarakat Indonesia.
Melalui momentum maulid nabi Muhammad SAW yang jatuh pada 5 Februari 2012 bertepatan dengan 12 Rabiul Awwal 1433 H sebaiknya kita menampilkan salah satu aspek kehidupan Muhammad yang jarang dibahas para da’i dan muballig yaitu kesuksesan Muhammad sebagai seorang pedagang. Muhammad bukan hanya sukses dalam berdakwah, memimpin negara dan rumah tangga tapi juga sukses dalam membangun usaha. Muhammad bukan hanya disegani sebagai pemuka agama dan pemimpin negara tapi juga disegani sebagai saorang saudagar yang memiliki jangkauan jaringan bisnis dan pangsa pasar yang luas serta pelanggang yang banyak.
Muhammad sebagai pemimpin bisnis dan entrepreunership dijelaskan secara gamblang di dalam buku Dr. Syafi’i Antonio dengan judul “Muhammad SAW Super Leader Super Manager”. Buku tersebut menguraikan bahwa masa berbisnis Muhammad yang mulai dengan intership (magang), business manager, investment manager, business owner dan berakhir sebagai investor relative lebih lama (25 tahun) dibandingkan dengan masa kenabiannya (23 tahun). Nabi Muhammad bukan hanya figur yang mendakwakan pentingnya etika dalam berbisnis tapi juga terjun langsung dalam aktifitas bisnis.
Sejak kecil, Muhammad sudah diperkenalkan tentang bisnis oleh pamannya, Abu Thalib, dengan cara diikutsertakan dalam perjalanan bisnis ke Syriah. Pengalaman ini menjadi modal dasar bagi Muhammad merintis usaha di kota Mekah. Beliau merintis usahanya dengan berdagang kecil-kecilan di sekitar Ka’bah. Dengan modal pengalaman yang ada disertai kejujuran dalam menjalankan usaha bisnisnya, nama Muhammad mulai dikenal di kalangan pelaku bisnis di Mekah.
Dengan kemampuan wirausaha yang dimilikinya, beberapa pemilik modal di Mekah kemudian tertarik untuk mempercayakan modalnya untuk dikelolah oleh Muhammad dengan prinsip bagi hasil maupun penggajian. Di usia yang masih relatif muda ini Muhammad sudah menjadi seorang manajer investasi. Dari mengelola bisnisnya sendiri ke mengelola invetasi orang lain. Khadijah yang kemudian menjadi istri Muhammad di kemudia hari adalah salah satu saudagar kaya Mekah yang tertarik terhadap kelihaian wirausaha Muhammad yang kemudia berinvestasi di bisnis Muhammad. Untuk mengembangkan bisnisnya, Muhammad kemudia intens melakukan ekspedisi untuk ekspansi bisnis demi menjangkau pusat perdagangan yang ada di Jazirah Arab. Gelar al-amin yang melekat pada dirinya menjadi alasan banyak investor menanamkan modalnya kepadanya.
Setelah Muhammad menikah dengan Khadijah, beliau semakin gencar mengembangkan bisnisnya melalui dengan ekspedisi bisnis secara rutin di pusat-pusat perdagangan yang ada di jazirah Arab, beliau intens mengunjungi pasar-pasar regional maupun Internasional demi mempertahankan pelanggan dan mitra bisnisnya. Jaringan perdagangan beliau telah mencapai Yaman, Syiria, Busra, Iraq, Yordania, Bahrain dan kota-kota perdagangan Arab lainnya.
Kehebatan berbisnis Muhammad bisa dilihat dalam sebuah riwayat yang menceritakan bahwa beliau pernah menerima utusan dari Bahrain, Muhammad menanyakan kepada Al-Ashajj berbagai hal dan orang-orang yang terkemuka serta kota-kota yang terkemuka di Bahrain. Pemimpin kabilah tersebut sangat terkejut atas luasnya pengetahuan geografis serta sentral-sentral komersial Muhammad. Kemudian al-Ashajj berkata “sungguh Anda lebih mengetahu tentang negeri saya daripada saya sendiri dan anda pula lebih banyak mengetahui pusat-pusat bisnis kota saya dibanding apa yang saya ketahui. Muhammad menjawab “saya telah diberi kesempatan untuk menjelajahi negeri anda dan saya telah melakukannya dengan baik” (Syafi’i Antonio, 2007).
Demikianlah perjalanan sukses bisnis Muhammad sebelum resmi menjadi seorang Nabi yang jarang disampaikan kepada generasi-generasi muda di saat perayaan Maulid Nabi. Pemahaman yang utuh tentang biograpi kehidupan beliau akan menghindarkan terjadinya pemahaman yang sempit tentang diri Rasulullah. Banyak orang yang mengaggap Rasulullah sebagai orang yang miskin padahal justru sebaliknya beliau adalah sosok pebisnis yang sukses.
Selain sukses dalam menjalankan wirausaha, Muhammad juga dikenal sebagai pengusaha dermawan. Hampir semua kekayaannya digunakan untuk kepentingan umatnya yaitu membantu orang-orang yang membutuhkan. Dalam suatu riwayat disebutkan “Tidak pernah sekalipun Rasulullah diminta sesuatu kemudian mengatakan tidak (HR. Muslim)”.
Jika para pengusaha di negeri ini yang jumlah kekayaannya masuk dalam deretan orang terkaya di dunia memiliki sikap kedermawanan yang tinggi, maka bisa dipastikan tingkat kesenjangan ekonomi di kalangan masyarakat bisa dikurangi. Konflik sosial kadang terjadi lantaran gaya hidup orang kaya yang tidak menampakkan rasa simpati terhadap orang penderitaan orang miskin yang jumlahnya cukup besar di negeri ini. Harus dipahami bahwa kekayaan yang dimiliki adalah amanah dari Allah di mana di dalamnya ada hak orang-orang yang tidak mampu. Tumbuhkanlah perilaku berbagi terhadap sesama. Wallahu’alambissawab.
Jakarta, 5 Februari 2012

Membangun Konektivitas Ekonomi


Oleh Ali Rama
Prestasi pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2011 cukup membanggakan, tumbuh 6,5 persen. Meskipun pertumbuhan ekonomi global akan melambat hanya dikisaran 4 persen akibat krisis utang di Eropa dan Amerika, prediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2012 tidak akan terganggu secara signifikan. Pemerintah masih optimis perekonomian kita masih akan tumbuh sekitar 6,5 persen tahun 2012 ini.
Optimisme di tegah krisis keuangan global ini didasari oleh fakta bahwa portofolio pertumbuhan ekonomi Indonesia  digerakkan oleh konsumsi dalam negeri. Di sisi lain, ekonomi RI tidak terlalu tergantung dengan negara-negara yang saat ini dililit krisis utang. Bahkan pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa mencapai sekitar 7-8 persen jika pertumbuhan ekonomi berbasis pengembangan infrastruktur gencar dilakukan di tahun-tahun mendatang.
Semua mazhab ekonomi di dunia menyepakati bahwa infrastruktur adalah faktor utama pemicu pertumbuhan ekonomi. Kualitas infrastruktur suatu bangsa berbanding lurus dengan tingkat perekonomian bangsa itu. Infrastruktur yang baik akan memberikan nilai tambah terhadap perekonomian. Semakin baik kualitas infrastruktur, semakin tertarik investor menanamkan modalnya dalam suatu perekonomian. Kondisi ini juga akan menarik minat para pelaku usaha untuk terlibat dalam aktivitas ekonomi. Akibatnya, ekonomi secara keseluruhan akan berkembang.
Infrastruktur pendukung pertumbuhan ekonomi misalnya layanan jalan mencakup jalur jalan tol penghubung antar kota, jembatan penghubung antar pulau, kereta, pelabuhan, dan bandara, pasokan energi dan layanan komunikasi.
Pertumbuhan ekonomi dan investasi negeri kita saat ini belum diimbangi oleh percepatan pembangunan dan ketersediaan infrastruktur yang memadai. Bahkan banyak investor asing dan pelaku usaha lokal yang mengeluhkan dan bahkan membatalkan investasinya lantaran keluhan ketidaktersediaan infrastruktur yang memadai, yang ujug-ujungnya berakibat pada biaya produksi yang tinggi. Infrastruktur yang jelek akan berakibat pada biaya ekonomi tinggi.
Anggaplah misalnya biaya pengapalan kontainer dari Padang ke Jakarta menelan biaya sebesar US$ 600, sedangkan dari Jakarta ke Singapur hanya sekitar US$ 185. Bahkan hasil data yang dikeluarkan World Economic Forum (WEF) menyebutkan bahwa biaya logistik di Indonesia mencapai 17 persen dari biaya produksi. Buruknya infrastruktur ini berakibat pada daya saing ekonomi kita yang rendah.
Laporan dari Global Competitiveness Index (GCI) menempatkan infrastruktur Indonesia diurutan 82 dengan skor 3,6  masih kalau jauh dari negeri tetangga seperti Singapura, Malaysia dan Thailand yang masing berada diranking 5, 30 dan 35.
Penguatan sektor infrastruktur khususnya konektivitas seharusnya menjadi prioritas utama dalam rancangan pembangunan ekonomi nasional mengingat karakter Indonesia sebagai negara kepulauan yang sepatutnya memiliki keterhubungan antar satu pulau dengan pulau lainnya. Konektivitas antar wilayah akan menciptakan integrasi ekonomi. Lemahnya konektivitas antar pulau dan atau antar wilayah di Indonesia menyebabkan terjadinya disparitas pembangunan antar pulau dan wilayah di tanah air selama ini. Aktivitas ekonomi hanya terkonsentarsi di kawasan perkotaan khususnya di pulau Jawa dan Sumatra.
Persentasi orang miskin mencapai sekitar 60 persen berada di daerah pedesaan lantaran tidak bisa mengakses langsung ke pusat-pusat pertumbuhan ekonomi. Penyebaran sarana transportasi yang tidak merata menciptakan wilayah atau daerah yang terisolir dari spektrum pertumbuhan ekonomi nasional. Dampaknya adalah biaya logistik yang semakin tinggi dan disparitas harga antar daerah yang semakin membesar.  
Rancangan pembangunan ekonomi nasional yang dituangkan melalui Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) sudah tepat untuk dilakukan. Tujuan utama yang ingin dicapai dari MP3EI adalah optimalisasi pengembangan potensi daerah, sinergisitas antara pengembangan ekonomi kewilayahan dengan pengembangan ekonomi sektoral melalui daya dukung infrastruktur yang memadai. Enam koridor ekonomi yang dicanangkan akan membangun pusat-pusat pertumbuhan disetiap koridor berbasiskan kluster industri unggulan. Pusat-pusat pertumbuhan berbasis unggulan (komoditas) ini akan saling terhubung melalui program konektivitas nasional (intra dan inter konektivitas).
Kebutuhan investasi untuk mendukung megaproyek di MP3I hingga 2014 mencapai sekitar Rp 4.000 triliun. Porsi untuk investasi pengembangan infrastruktur tercatat sebesar Rp 1.774 sedangkan untuk investasi energi dan pembangkit sebesar Rp 669 triliun. Total kebutuan dana MP3EI itu, pemerintah hanya akn berkontribusi sekitar 10 persen, sedangkan sisanya diupayakan keterlibatan aktif oleh BUMN dan swasta. Menurut data dari Menko Perekonomian Bidang Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah, anggaran infrastruktur yang terserap sejak 2004 sampai 2011 sudah mencapai sekiatr Rp 350 triliun. Di tahun 2011, anggaran infrastrukur mencapai Rp 123 trilliun naik sekiatr 50 persen dari tahun sebelumnya, jumlah ini masih sekitar 1,8 persen dari PDB 2011. Untuk tahun 2012, pemerintah mencanangkan sebesar Rp 170 triliun dalam bentuk belanja modal dan sebagian besar untuk infrastruktur.
Idealnya untuk mencapai target ketersediaan infrastruktur sebagai pendukung pertumbuhan ekonomi nasional dibutuhkan minimal dana sekitar 5 persen dari GDP. Investasi di bidang infrastruktur memang membutuhkan dana yang besar dan bersifat jangka panjang. Namun dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi sangat besar. Oleh karena itu investasi di bidang ini perlu dilakukan secara bersama baik pihak pemerintah, swasta dan maupun asing.
Pembangunan infrastruktur untuk mencapai konektivitas nasional sejalan dengan program ASEAN connectivity yang akan terbentuk melalui ASEAN community pada 2015 mendatang. Program MP3EI akan membantu menciptakan integrasi eonomi nasional di seluruh wilayah Indonesia dan melalui ASEAN connectivity akan menghubungakn Indonesia dengan negara-negara ASEAN. Wallahu’alam bissawab
Jakarta, 12 Januari 2012

Rabu, 01 Februari 2012

Challenges to growth of Islamic banking



Although Islamic banking has grown rapidly over the last three decades, the volume of transactions touched $1.086 trillion (Dh3.98 trillion) in 2011
Although Islamic banking has grown rapidly over the last three decades, the volume of transactions touched $1.086 trillion (Dh3.98 trillion) in 2011, accounting for only one per cent of the world's total.
This point was made at a seminar organised last week by the Emirates Centre for Strategic Studies and Research in Abu Dhabi in cooperation with the Paris Institute of Geo-Political Studies.
The seminar also highlighted global interest in Islamic banking, motivated by the growing economic importance of Islamic countries and the increasing number of Muslims in places such as Europe. Even China is entering the market, recently approving a licence to set up the first Islamic bank in the country.
More than 310 Islamic financial institutions currently operate in more than 75 countries, and in the GCC the sector continues to flourish. The recent announcement that the world's largest Islamic bank, with a capital of $100 billion, would be headquartered in Bahrain, will boost this trend.
But despite the global interest and new trends, Islamic banking still faces many challenges. Many of these challenges have complicated Sharia and professional characteristics.
Wide variation
Regarding Sharia, there is a wide variation in fatwas in each Islamic bank. Some of these fatwas contradict each other, thus creating hurdles in the progress of the sector.
This disparity reflects conflicts of interest and competition among Islamic banks on the one hand, and among scholars on the other. Some financial instruments adopted by some Islamic banks are prohibited or treated as undesirable in other lenders, which may hinder their adoption and the mission of the banking business in general.
On the professional side, although one of the most basic fundamentals of Islamic banking is based on the profit-and-loss sharing principle, the interest rate in Islamic banks mirrors interest rates in traditional banks, in that it moves up and down in accordance with the interest rate of the London Interbank Offered Rate (Libor) on the London Stock Exchange. This is the average interest rate that leading banks in London charge when lending to other banks.
Even though fatwa departments in Islamic banks are currently considering a substitute for this interest rate mechanism, in reality, Islamic banking is part of the global banking system and will remain so due to the integration of the economies of Islamic countries with the global economy.
This is because economic globalisation does not allow for such a separation between Islamic banks and traditional banks.
The impact of the global financial crisis on Islamic banking stand as evidence of strong association between Islamic banking and global banking, despite the fact that the effects on Islamic banks were less serious than those suffered by traditional banks. Let us not forget that one reason for this is that Islamic finance prohibits overestimating assets without sound financial foundations, and financial derivatives — two major causes of the crisis.
The efforts of Islamic banking to go global are important, particularly if they want to achieve the stature of French banks, for example, but it also requires finding a solution to the currently existing Sharia and professionalism-related problems.
Dealing with global fin-ancial markets is different from dealing with local and regional markets, especially given that there are complicated financial instruments and derivatives that are difficult to deal with in terms of Sharia only.
There are also major stock exchanges for commodities, gold and oil that deal with billions of dollars daily, thus putting big burdens on financial institutions because of the size and speed of transactions.
But if these issues can be resolved, it would be possible for Islamic banking to constitute an important part of the world banking system.

Dr Mohammad Al Asoomi is a UAE economic expert and specialist in economic and social development in the UAE and the GCC countries.

Selasa, 17 Januari 2012

Saintifikasi Ekonomi Islam


Oleh Ali Rama
Ekonomi islam saat ini mengalami perkembangan yang cukup pesat baik di tingkat lokal maupun di tingkat global. Indikator utamanya terlihat pada munculnya berbagai institusi dan produk keuangan syariah sebagai alternatif pilihan selain dari sistem konvensional yang sudah ada. Saat ini lembaga keuangan syariah telah memiliki pasar modal syariah, perbankan syariah, microfinance syariah, asuransi syariah, islamic fund dan produk keuangan sukuk. Lembaga dan produk keuangan syariah ini idealnya lahir dari rahim kajian ekonomi islam sebagai sebuah disiplin ilmu. Sebagaimana telah terjadi pada sistem ekonomi konvensional (kapitalisme) yang kemudian beranak pinak menghasilkan berbagai  institusi dan produk keuangan konvensional.
Permasalah vital yang ada dalam kajian dan pengembangan ekonomi islam saat ini adalah pertumbuhan institusi dan produk keuangan syariah lebih cepat dibandingkan dengan kajian tentang fundamental ekonomi islam sebagai sebuah disiplin ilmu. Bahkan kajian teori dan philosophy ekonomi islam yang gencar terjadi pada tahun 1970 dan 1980-an mengalami pergeseran pada tahun 1990 dengan lebih berorientasi pada wilayah-wilayah komersil seperti keuangan dan perbankan syariah. Akibatnya, terjadi kekurangan kajian philosophy dalam literatur ekonomi islam dan disaat yang bersamaan terjadi lonjakan pertumbuhan lembaga dan produk keuangan islam. Artinya adalah lembaga dan produk keuangan syariah yang ada saat ini tidak lahir dari fundamental ekonomi islam yang solid tapi mungkin lahir dari proses islamisasi atau replikasi produk lembaga dan keuangan konvensional yang sudah ada menjadi lembaga dan produk keuangan syariah.
Ada pertanyaan mendasar terhadap keberadaan ekonomi islam saat ini, yaitu apakah ekonomi islam bisa dikatakan sebagai sebuah disiplin ilmu? Apakah ekonomi islam sudah memenuhi kriteria sebagai sebuah ilmu? Pertanyaan ini ditanggapi oleh beberapa kelompok aliran yang tidak menganggap ekonomi islam sebagai sebuah disiplin ilmu.
Pertama, Mazhab Pembaharu Kapitalisme. Mazhab pemikiran ini beranggapan bahwa fundamental dari sistem ekonomi islam sama saja dengan sistem kapitalisme. Kapitalisme mengakui adanya hak kepemilikan, kebebasan untuk berusaha, dan kepercayaan pada mekanisme pasar dan hal ini diakui pula dalam sistem ekonomi islam. Mereka hanya menganggap ada bagian-bagian tertentu dalam sistem kapitalisme yang perlu disesuaikan sehingga bisa dikonfromikan dangan prinsip-prinsip islam. Penyesuaian itu terutama pada pembedaan antara produk halal dan haram, mengeluarkan riba pada sistem moneter dan memasukkan zakat dalam sistem fiskal. Jika penyesuaian ini telah dilakukan pada sistem kapitalisme maka akan sama saja dengan sistem ekonomi islam. Intinya, mazhab ini menganggap sistem ekonomi islam yang lagi marak saat ini adalah wajah lain dari sistem kapitalisme yang sudah diperbaharui dan disesuaikan, sehingga tidak perlu dianggap sebagai sebuah ilmu ekonomi baru.
Kedua, Mazhab Konevensional. Kelompok ini beranggapan bahwa terdapat perbedaan yang mendasar antara teori ekonomi islam dan ekonomi konvensional. Sistem ekonomi konvensional telah dibangun dari struktur fondasi dan teori yang solid serta teruji. Perbedaan inilah yang menjadi alasan ketidaklayakan ekonomi islam disebut sebagai ilmu. Sehingga mereka menganggap ekonomi konvensional adalah satu-satunya basis ilmiah dalam menciptakan dan menerapkan sistem ekonomi terapan.
Ketiga, Mazhab Sectarian Diversity. Kelompok ini menganggap ekonomi islam memiliki basis keilmuan yang lemah dan hanya berisi tentang keyakinan dan ajaran agama. Pengikut pemikiran ini beranggapan pula bahwa usaha untuk mengembangkan ekonomi islam hanya akan berujung pada konflik intelektual dikarenakan ekonomi islam tidak memiliki basis ilmiah yang kuat dan dalam tubuh islam itu sendiri terdiri dari perbagai sekta dan aliran pemikiran.
Sebagai tanggapan dari pemikiran-pemikiran di atas maka perlu dilakukan saintifikasi ekonomi islam secara serius sehingga menghasilkan struktur ilmu yang solid dan kuat yang darinyalah akan lahir berbagai teori-teori ekonomi islam, institusi dan produk keuangan syariah yang jeniune dari eksplorasi ajaran islam itu sendiri, bukan lagi hasil replikasi yang pada intinya bisa dibilang sama saja, hanya jenis kontrak dan niatnya yang berbeda.
Untuk membantah ketiga kelompok pemikiran di atas yang tidak mempercayai ekonomi islam sebagai sebuah disiplin ilmu bukanlah hal yang susah. Secara fundamental ekonomi islam sangat berbeda dengan ekonomi kapitalisme yang berdasarkan pada laissezefaire philosophy. Fundamental ekonomi islam menganggap individu sebagai khalifah Allah di muka bumi dengan tujuan untuk mendapatkan kemenangan (falah) di dunia dan akhirat serta semua tindak lakunya akan dipertanggungjawabkan kelak nanti. Dari perbedaan fundamental ini bisa menjadi justifikasi ilmiah untuk pengembangan ekonomi islam. Kelompok kedua menganggap ekonomi konvensional sangat jauh berbeda dengan ekonomi islam. Justru adanya perbedaan ini memungkinkan berkembangnya ekonomi islam sesuai dengan karakter dan prinsip dasarnya. Kelompok ketiga tidak mengakui ekonomi islam sebagai disiplin ilmu karena dalam islam terdapat berbagai macam sekta pemikiran, justru adanya berbagai perbedaan pemikiran ini mencerminkan tradisi ilmiah itu sendiri.
Berdasarkan pada struktur ilmu ekonomi yang dikembangkan oleh Thomas S. Kuhn dalam bukunya The Structure of Scientific Revolutions maka islam bisa dikategorikan sebagai sebuah disiplin ilmu. Adapun struktur ilmiah ekonomi islam adalah; secara fundamental ekonomi islam berakar pada nilai tawhid, rububiyyah, khilafah, tazkiyah dan accountability. Dari fundamental ini akan menghasilkan perilaku pelaku ekonomi yang dikenal sebagai muslim man.
Muslim adalah individu yang punya komitmen bahwa hidupnya diabdikan untuk mencapai kemenangan (falah) sebagai khalifah Allah di muka bumi. Seorang muslim meyakini apapun yang ada dalam kehiduapn ini hanyalah titipan dari Sang Maha Pencipta. Perilaku muslim ini akan mengantarkannya pada shariah sehingga terjadi interkonneksi antara perilaku individu dengan paradigma syariah. Paradigma syariah ini menjadi basis ilmiah untuk pengembangan sistem ekonomi islam. Pada akhirnya, ekonomi islam berhak berkembang berdasarkan prinsip dan karakternya sesuai struktur ilmiahnya yang menggunakan sebuah paradigma yang berbeda dengan paradigma ekonomi pasar pada ekonomi konvensional.
Ekonomi islam mengkaji persoalan-persoalan ekonomi dan bagaimana menyelesaikannya dalam bingkai perspektif islam (nilai, norma, aturan dan perintah dan larangan). Permasalah ekonomi klasik adalah ketidakseimbangan antara sumber daya alam dengan keinginan tak terbatas manusia, keterbatasan sumber daya alam dan ketidakterbatasan keinginan manusia, dan bagaimana pengalokasiannya? Menurut konsep ekonomi islam, Allah menciptakan kekurangan dan keberlimpahan secara bersamaan sehingga terjadi keseimbangan. Letak permasalahan ekonomi yang sebenarnya adalah pada perilaku manusia yang sering menciptakan ketidakseimbangan pengalokasian sumber daya alam yang tidak merata.
Perbedaan mendasar ekonomi islam dan ekonomi kenvensional pada aspek fundamental adalah self-interes versus huquq, utility versus maslahah dan rationality versus taqwa. Perbedaan-perbedaan mendasar ini akan menghasilkan perlaku ekonomi yang berbeda, ekonomi islam melahirkan muslim man dan konvensional menghasilkan economic man.
Saintifikasi ekonomi islam berbeda dengan islamisasi ilmu ekonomi. Saintifikasi ekonomi islam adalah usaha untuk mengkonstruksi strukur dan teori ekonomi islam berdasarkan pada sumber fundamental dan prinsip ajaran islam itu sendiri sedangkan islamisasi ilmu ekonomi menurut hemat saya adalah usaha untuk memasukkan nilai-nilai dan prinsip-prinsip dasar ajaran islam pada ilmu ekonomi yang sudah ada. Bagian pertama menghasilkan genuine produk sedangkan bagian kedua menghasilkan replikasi produk yang sudah dipurifikasi (memasukkkan unsur halal dan mengeluarkan unsur haram).
Dalam islamisasi ekonomi, kebanyakan orang terperangkap pada paradigma konvensional sehingga sulit membedakan antara westernalisasi islam melalui pencocokan ajaran islam terhadap ekonomi konvensional atau islamisasi paradigma konvensional. Stigmatisasi yang berkembang saat ini terhadap ekonomi islam (keuangan syariah) adalah arabisasi terhadap ekonomi konvensional (keuangan konvensional) yang pada substansinya tidak berbeda, yang membedakan hanya niat dan kontraknya saja.
Fokus utama yang harus dilakukan oleh islamic scholars adalah saintifikasi ekonomi islam bukan justru islamisasi ilmu ekonomi sehingga theory, institusi dan produk keuangan yang tercipta adalah hasil dari penggalian ajaran islam itu sendiri, bukan lagi sekedar duplikasi dan replikasi melalui “purifikasi” terhadap ekonomi konvensional. Penulis menyadari saintifikasi ekonomi islam membutuhkan waktu yang lama seperti apa yang terjadi pada ekonomi konvensional yang membutuhkan ratusan tahun sehingga bisa menjadi seperti saat ini walaupun masih memiliki berbagai kelemahan. Tapi melalui dengan usaha ini maka kita akan menampilkan wajah ekonomi islam yang sebenarnya bukan justru sekedar duplikasi dan replikasi yang kebanyakan masuk wilayah syubhat. Wallahu’alam Bissawab.
IIUM Gombak Kuala Lumpur, 3 Januari 2010

Kamis, 05 Januari 2012

Peran "Polisi Syariah" Diperluas


Oleh Ali Rama
Kehadiran Dewan Pengawas Syariah (DPS) dalam struktur organisasi Lembaga Keuangan Syariah (LKS) bertujuan untuk memastikan konsistensi penerapan ketentuan dan prinsip syariah dalam operasional dan produk LKS. Namun melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 13/23 Tahun 2011, peran DPS diperluas dan diharuskan terlibat dalam pengelolaan risiko di bank syariah. DPS semestinya memahami manajemen risiko (risk management) dalam perbankan syariah khususnya terkait dengan ruang lingkup pengawasan di bank syariah.
Sontak saja, aturan BI baru ini ditanggapi oleh sebagian anggota DSN-MUI tidak sesuai dengan amanat UU Perbankan Syariah dimana ruang lingkup kompetensi peran dan tanggung jawabnya sebagai “polisi syariah” dalam sebuah LKS.
Kenapa BI mengharapkan DPS terlibat dalam manajemen risiko bank syariah? Tentunya ini terkait dengan ruang lingkup perannya sebagai pengawas syariah yang harus memastikan prinsip syariah konsisten diterapkan bank syariah. Jika bank syariah melakukan pelanggaran syariah dalam operasional ataupun produk dan layanan maka ini akan berpotensi menciptakan customer migration (perpindahan nasabah) ataupun liquidity switching and withdrawal (perpindahan dan penarikan likuiditas) khsusunya oleh nasabah loyalis bank syariah.
Nasabah loyalis biasanya memilih bank syariah karena atas pertimbangan sentimen keagamaan (religious motive). Kebutuhan mereka akan transaksi keuangan yang halal dapat dipenuhi oleh perbankan syariah atau LKS lainnya. Namun jika reputasi kesyariahan suatu bank syariah sudah dipertanyakan lagi maka ini berpeluang menciptakan migrasi nasabah. Potensi risiko ini disebut sebagai reputational risk (risiko reputasi) atau biasa juga disebut sebagai shariah compliant risk.
Oleh karena itu konsistensi peran DPS sebagai “polisi syariah” dalam struktur sebuah LKS demi kemurniaan syariah tetap terjaga akan sangat membantu dalam mitigasi risiko migrasi nasabah. Tentunya, tugas DPS di manajemen risiko tidak sampai pada penghitungan detail tapi hanya sebatas pemahaman tehadap pengelolaan risiko.
Peran DPS
Lembaga keuangan syariah (LKS) baik perbankan, asuransi ataupun reksadana adalah lembaga keuangan yang beroperasi sesuai dengan ketentuan dan prinsip syariah. Untuk menjaga konsistensi operasi dan praktek terhadap syariah maka wajib bagi setiap LKS untuk memiliki institusi internal yang independen yang secara khusus menilai dan memastikan pemenuhan prinsip syariah atas pedoman operasional dan produk yang dikeluarkan bank dan hal ini sejalan dengan UU Perbankan Syariah No. 21/2008. Salah satu perbedaan yang mendasar dalam struktur organisasi bank konvensional dan bank syariah adalah adanya kewajiban memposisikan DPS pada perbankan syariah, sedangkan di bank konvensional tidak ada aturan yang demikian.
DPS pada dasarnya merupakan perpanjangan tangan Dewan Syariah Nasional (DSN) dalam merealisasikan sekaligus mengawasi penerapan fatwa-fatwa yang telah dikeluarkan oleh DSN terkait dengan perbankan, asuransi, pasar modal, reksadan, dan lain-lain. Jika ada bank syariah yang melanggar atau menyimpan dari garis panduan yang telah ditetapkan oleh DSN maka DPS bisa melakukan teguran dan melaporkan ke BI sebagai lembaga pengawas perbankan. Keanggotaan DPS ini biasanya terdiri dari 2 sampai 3 orang yang berkedudukan di kantor pusat LKS dimana dalam struktur perusahaan diletakkan pada posisi setingkat dengan Dewan Komisaris pada setiap perusahaan (LKS).
Tatakelola (governance) keberadaan DPS pada lembaga keuangan di berbagai negara berbeda-beda. Di Indonesia misalnya memiliki dewan syariah di tingkat nasional dan korporasi (perusahaan). DPS di tingkat korporasi adalah perpanjangan tangan dari Dewan Syariah Nasional. Fatwa DSN menjadi pijakan utama bagi setiap DPS menjalankan fungsi pengawasan di tingkat masing-masing korporasi. Sedangkan mayoritas di negara-negara Timur Tengah hanya memiliki Dewan Syariah (Shariah Board) di tingkat korporasi. Tatakelola seperti ini berpotensi untuk menciptakan perbedaan standarisasi kesyariahan. Bisa saja fatwa Dewan Syariah perusahaan A berbeda dengan perusahaan B. Buruknya lagi, perbedaan standarisasi kesyariahan ini tidak bisa “diseragamkan” karena tidak adanya Dewan Syariah Nasional sebagai rujukan utama atas sebuah fatwa produk dan layanan perbankan. Dari aspek governance tentunya keberadaan DPS di Indonesia masih lebih baik dari negara-negara di Timur Tengah.
Karena fungsinya sebagai pengawas aspek kesyariahan, maka persyaratan utama bagi keanggotaan DSN sudah seharusnya mereka yang memiliki kualifikasi integral dan multidisplin ilmu khususnya ilmu fiqhi muamalat dan ilmu ekonomi dan keuangan. Bahkan dengan aturan BI yang baru (PBI No. 13/23 Tahun 2011) setiap DSN harus mengerti aspek manajemen risiko yang dihadapi oleh perbankan syariah.
Permasalahan Yang Terjadi
Peran DPS sangat vital dalam mengawal kesyariahan LKS. Mereka menjadi pihak yang bertanggungjawab penuh jika ada lembaga perbankan atau lembaga keuangan lainnya yang menyimpan dari syariah. Namun fenomenan yang sering terjadi saat ini, di beberapa bank syariah misalnya peran vital dari DPS tidak berjalan sebagaiman mestinya. Mereka kadang gagal mengawasi praktek riil produk-produk yang dikeluarkan oleh bank. Bahkan terkadang pihak Bank Indonesia lebih cepat mengidentifikasi adanya transaksi-transaksi yang mencurigakan yang melanggar prinsip syariah dibandingkan dengan pengawas syariah yang ada di bank. Anggaplah kasus “berkebun emas” yang belakangan ini marak terjadi pada perbankan syariah. Pihak BI sudah sering kali memberikan warning adanya kecenderungan tindakan spekulasi dan penyalahgunaan kontrak gadai emas untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya.
Yang juga terjadi dilapangan saat ini adalah proses pengangkatan anggota DPS tidak didasari pada kompotensi keiilmuan di bidang ilmu ekonomi dan keuangan dan fiqhi muamalat, tapi teradang hanya didasari oleh ketenaran, ketokohan dan kharismanya di tengah masyarakat. Akibatnya, mereka tidak bisa melakukan fungsi pengawasan aspek kesyariahan praktek perbankan ataupun mengusulkan produk-produk inovatif yang sesuai syariah lantaran minimnya keilmuan dari segi fiqhi muamalat, perbankan, akuntansi, ekonomi dan aspek-aspek lainnya. “Intelectual mismatch” ini tidak hanya terjadi di lembaga keuangan syariah saja tapi juga banyak yang duduk di bangku komisaris perusahaan-perusahaan BUMN di negeri ini yang kadang ditempatkan di situ bukan karena kompotensinya dalam manajemen perusahaan atau industrinya tapi sebagai bentuk balas jasa politik belaka.
Permasalahan lain yang sering menjadi issu pada Dewan Pengawas Syariah yang tidak hanya terjadi di Indonesia adalah keterbatasan SDM. Jumlah stock ulama yang paham ekonomi dan perbankan secara mendalam atau ekonom yang memahami ilmu fiqhi muamalat sangat minim kuantitasnya. Pada tataran global, survey yang dilakukan oleh funds at work di negara-negara Teluk (GCC) menemukan ada 94 scholars menempati 467 posisi keanggotaan sebagai shariah board (dewan syariah) di berbagai perusahaan di GCC. Sekitar 54,18 persen posisi dewan syariah (shariah board) di negara-negara GCC hanya diisi oleh 11 persen oleh dewan syariah aktif. Contohnya misalnya, ada seorang scholar yang mejadi shariah board di 46 perusahaan sekaligus. Coba bayangkan ada seorang scholar harus mengawasi kesyariahan 46 perusahaan secara sekaligus. Apakah sanggup membaca puluhan laporan perusahaan secara detail yang jumlahnya setiap satu perusahaan bisa mencapai ratusan halaman. Bahkan mungkin karena kesibukan mereka tidak pernah membaca laporan perusahaan yang disajikan kepada mereka.
Solusi
Oleh karenanya, karena kita memahami kekurangan yang terjadi maka perlu dilakukan pembinaan dan pendidikan secara serius untuk memproduksi doktor dan ilmuan yang berkemampuan multidisiplin ilmu sebanyak-banyaknya khususnya integrasi keilmuan antara bidang fiqhi muamalat dan ekonomi sekaligus. Bagi mereka yang saat ini sudah menjabat sebagai DPS maka perlu mengupgrade keilmuannya khususnya pada dua bidang di atas supaya fungsi pengawasan bisa berjalan secara optimal.
Untuk meningkatkan fungsi dan peran DPS pada lembaga-lembaga keuangan syariah, maka kedudukan DPS sebaiknya menjadi profesi yang dijalankan secara profesional dalam rangka mengembangkan keuangan syariah di tanah air. Jika DPS bertindak secara full time maka merekapun harus punya staf teknis yang dapat membantu tugas dan wewenangnya. Mereka bisa bersinergi dengan pihak manajemen lembaga keuangan syariah untuk mengembangkan produk-produk inovatif syariah. Mereka juga perlu secara aktif mensosialisasikan konsep keuangan syariah kepada khalayak umum di setiap aktivitas yang dilakukannya. Jika hal ini dilakukan maka persepsi DPS sebagai “pajangan” saja bisa ditepis dengan sendirinya. Wallahu’alam bissawab.
Jakarta, 24 Desember 2012