Sabtu, 21 April 2012

MENDEKATKAN IDEALITAS KE REALITAS


Ali Rama
Pengurus Pusat Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI)
Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI) dalam acara Milad ke-8 dan Mukernas (13/4) menghasilkan Blueprint Ekonomi Islam yang akan menjadi acuan kebijakan (policy direction) bagi para stakeholdersnya dalam pengembangan ekonomi Islam di tanah air dalam kurun waktu yang panjang.Sebagaimana telah diketahui Bank Indonesia (BI) pada tahun 2000 telah meluncurkan Blueprint Pengembangan Perbankan Syariah Indonesia untuk jangka waktu 10 tahu dimana  salah satu target utamanya adalah tercapainya market share perbankan syariah sebesar 10 persen pada akhir tahun 2010. Akan tetapi target tersebut tidak tercapai bahkan sampai tahun 2012 ini pangsa pasarnya hanya sekitar 3.8 persen dari total aset perbankan nasional. Semangat yang sama untuk mengembangkan perbankan syariah, pada tahun 2008 BI kemudian melaunching Grand Strategi Pengembangan Pasar Perbankan Syariah di Indonesia. Melalui strategi inilah kemudia diperkenalkan istilah iB (Islamic Banking) sebagai marketing branding perbankan syariah. Strategi ini cukup sukses mensosialisasikan industri perbankan syariah ke seluruh lapisan masyarakat. Misalnya indikatornya adalah saat ini dengan mudah kita melihat logo iB di berbagai event yang tidak hanya berhubngan dengan perbankan tapi sampai pada acara olah raga dan film. Keseriusan Bank Indonesia dalam pengembangan perbankan syariah di tanah air perlu diapresiasi, semoga semangat ini bisa tertularkan kepada lembaga OJK yang nantinya akan mengambilalih otoritas ini.
IAEI sebagai salah satu pelaku pengembangan ekonomi Islam di Indonesia merasa perlu membuat Blueprint Ekonomi Islam sebagai acuan utama bagi para pelaku dan pengambil kebijakan. Blueprint ini dianggap penting sebagaimana tercantum dalam blueprint tersebut yaitu dikarenakan selama ini pengembangan ekonomi Islam bersifat parsial misal perbankan, BMT dan Zakat sehingga terjadi ketidakseimbangan perkembangan sektor-sektor tersebut. Oleh karena itu kehadiran cetak biru ekonomi Islam ini sebagai langkah untuk mengintegrasikan dan menyinergikan semua langkah-langkah dan kebijakan untuk memajukan ekonomi Islam secara menyeluruh dan tidak parsial.
Tulisan ini tidak dikhususkan untuk membahas blueprint ekonomi Islam tersebut tetapi akan membahas dua hal penting yaitu pengembangan sumber daya insani sebagai pelaku utama penegakan ekonomi Islam di bumi Indonesia dan perbaikan paradigma dalam memajukan ekonomi Islam.
Sumber Daya Insani (SDI)
Seiring dengan pesatnya pertumbuhan industri keuangan dan perbankan syariah berdampak pada tingginya permintaan SDI sebagai penopang utama pertumbuhannya. Menurut data dari Bank Indonesia jumlah tenaga kerja yang bekerja di perbankan syariah mengalami perkembangan yang sangat signifikan dalam 5 tahun belakangan ini. Pada tahun 2005 sekitar 3.523 bertambah menjadi 13.594 pada tahun 2010 yang bekerja di perbankan syariah. Diperkirakan dibutuhkan sekitar 60 -70 ribu SDI untuk bekerja di perbankan syariah dalam kurung 30 tahun ke depan.
Demand yang tinggi ini menjadi tantangan bagi lembaga-lembaga pendidikan sebagai institusi yang paling berkompeten dalam menciptakan SDM profesional untuk menunjang pertumbuhan industri keuangan dan perbankan syariah. Salah satu tugas utama lembaga pendidikan adalah melinkan antara kapasitas/kompetensi output lulusannnya dengan kebutuhan industrinya atau dengan istilah link and match.
Kompetensi SDI yang harusnya dilahirkan oleh institusi pendidikan adalah SDI berkualitas integratif, yaitu memiliki kapasitas keilmuan yang memadai dalam bidang kesyariahan dan ilmu ekonomi. Setidaknya ada tiga kualifikasi sumber daya manusia ekonomi Islam yang dapat dihasilkan oleh lembaga pendidikan (Euis dkk, 2012), yaitu: Pertama, sumber daya manusia yang memiliki spesialisasi atau keahlian pada ilmu syariah, namun memahami ilmu ekonomi; kedua, sumber daya manusia yang memiliki spesialisasi atau keahlian pada ilmu ekonomi, namu memamahi syariah; dan ketiga, sumber daya manusia yang memiliki spesialisasi atau keahlian pada ilmu syariah dan ilmu ekonomi. Tipikal SDM yang ketiga inilah yang dinamakan sumber daya manusia Islam berkualitas integratif yang seharusnya dihasilkan oleh lembaga pendidikan yang menerapkan konsep pendidikan ekonomi Islam integratif demi mewujudkan terciptanya sitem ekonomi Islam yang komprehensif dalam kehidupan manusia.
Hal lain yang perlu juga ditekankan adalah lembaga pendidikan tidak hanya bertujuan untuk membangun keilmuan dan skill SDI tapi juga membentuk karakter dan perilakunya yang sesuai dengan ajaran Islam yaitu dimensi moral dan akhlaknya. SDI yang didik bukan hanya supaya mereka dapat diserap oleh lapangan kerja tapi utamanya adalah “homo Islamicus” yaitu SDI yang berperilaku sesuai dengan ajaran Islam. Karakter inilah yang menjadi benteng atas kemungkinan terjadinya moral hazard yang bisa saja terjadi di lembaga keuangan syariah.
Paradigma Pengembangan Ekonomi Islam
Sangat disadari bahwa perkembangan ekonomi Islam di dunia Muslim saat ini sangat identik dengan keuangan dan perbankan. Ini tidak terlepas dari pendekatan parsial yang telah dilakukan khususnya terciptanya sistem perbankan yang bebas riba (suku bunga) dimana ajaran Islam di sini sangat instrumental dan praktis.
Alasan lainnya kenapa memilih keuangan dan perbankan sebagai objek utama “Islamisasi” sistem ekonomi dikarenakan sektor ini sangat berperan strategi bagi kehidupan manusia. Di sektor inilah mayoritas uang beredar dan hampir tidak ada sektor bisnis saat ini yang tidak membutuhkan lembaga keuangan sebagai sumber pembiayaan. Artinya, jika sektor yang sangat penting dan startegis ini dapat “diislamkan” maka akan berkontribusi besar dalam menciptakan keadilan dalam sistem ekonomi sebagaimana tuuan dari ekonomi Islam itu sendiri.
Namun konsekuensinya jika pengembangan ekonomi Islam didominasi oleh keuangan dan perbankan syariah saja akan membuatnya sangat tergantung pada modal yang besar. Sementara permodalan adalah salah satu kelemahan yang dialami oleh negara-negara Islam yang sedang berkembang. Di Indonesia misalnya, meskipun regulasinya sudah cukup memadai, jumlah penduduknya yang besar tapi toh juga market share industri keuangan perbankan syariah masih saja kecil, sekitar 3,8 persen. Kelemahan permodalan ini pada akhirnya akan membuat industri kuangan syariah akan “dicaplok” oleh kaum pemilik modal (kapitalisme) demi mecari keuntungan dari Industri ini yang terus berkembang.
Justru seharusnya ekonomi Islam sebagaimana diungkapkan oleh Umar Chapra bertujuan untuk menganalisis penyebab kenapa terjadi gap antara ajaran Islam dengan perilaku umatnya. Sehingga ekonomi Islam berkontribusi mendekatkan idealitas ekonomi Islam dengan realitas perekonomi Muslim saat ini. Itulah seharusnya kontribusi ekonomi Islam dalam kebangkitan ekonomi negara-negara Muslim saat ini. Wallahu’alambissawab.
*Tulisan ini diterbitkan di Opini Koran Republika (20/4/2012)


Minggu, 01 April 2012

Arsitektur Ilmu Ekonomi Islam


Ali Rama
Dosen Ekonomi Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Dalam sebuah Workshop Nasional bertajuk “Arsitektur Ilmu Ekonomi Islam” yang diselenggarakan oleh UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (28/2/2012) menghadirkan pakar eknomi Islam, pelaku industri, akademisi dan pihak regulator. Acara ini didasari oleh keinginan untuk mengkonstruksi ilmu ekonomi Islam yang solid dan teruji yang kemudian dapat diterjemahkan dalam bentuk satuan kurikulum, lembaga dan institusi dan peraturan dan kebijakan.
Prof. Dr. Dawam Rahardjo yang tampil sebagai salah satu pembicara dalam acara tersebut mengilustrasikan rancang bangun ekonomi Islam layaknya sebagai sebuah rumah yang memiliki (i) fondasi sebagai nilai-nilai fundamental, (ii) lantai dasar sebagai sektor ekonomi dan pelaku ekonomi, (iii) tiang atau pilar sebagai prinsip-prinsip, (iv) plafon sebagai doktrin, dan (v) atap sebagai tujuan dan hakekat. Jika desain sudah jelas maka dengan mudah akan menyusun sistem ekonomi Islam, baik mikro maupun makro. Sehingga akhirnya menjadi sebuah sistem yang universal seperti kapitalisme, sosialisme atau sosial demokrasi.
Tambahnya, gagasan ekonomi Islam awal mulanya didesain sebagai sistem ekonomi makro universal sebagai bagian dari ideologi Islamisme. Kemudian wacana ideologi ini dikembangkan menjadi teori-teori ekonomi oleh sarjana-sarjana profesional hasil pendidikan Barat dimana pembentukan lembaga-lembaga keuangan (bank Islam) sebagai bentuk instruemtalnya.
Citra ekonomi Islam yang selalu identik dengan keuangan dan perbankan syariah pada hakekatnya mempersempit kajian ekonomi Islam yang tadinya bersifat makro menjadi mikro. Hal ini juga diungkapkan oleh Prof. Dr. Edi-Sri Swasono yang melihat perkembangan ekonomi Islam tereduksi hanya pada upaya membangun lembaga-lembaga keuangan syariah dimana riba hanya dipersempit menjadi bunga perbankan saja. Padahal menurutnya sistem ekonomi usurious tidak lain adalah bentuk ekonomi eksploitatif yang memelihara dan menumbuhkan kesenjangan ekonomi, membiarkan terjadinya trade off secara sistemik untuk kerugian si miskin dan si lemah dan membiarkan merajalelanya brutalitas laissez-faire.
Perkembangan ekonomi Islam yang didominasi oleh keuangan dan perbankan syariah yang menggunakan pendekatan pragmatis-instrumentalis justru menurut Prof. Dr. Dawam Rahardjo akan mengalami fenomena seperti yang dikemukakan oleh Paul Omerod sebagai the death of economics, dimana ekonomi dipandang semata-mata sebagai masalah bisnis dan keuangan yang menguntungkan seperti nampak dalam respon terhadap produk-produk keuangan syariah. Marak dan tingginya tingkat penerimaan keuangan dan perbankan syariah di negara-negara Barat dan Eropa tidak terlepas dari “corak kapitalisme”-nya yang menguntungkan dan potensi pasar Islam yang besar. Konsentrasi pengembangan ekonomi Islam pada sektor keuangan membuatnya sangat tergantung pada modal yang besar dan permodalan adalah salah satu kelemahan yang dialami oleh negara-negara Islam yang sedang berkembang. Di Indonesia misalnya, meskipun regulasinya sudah cukup memadai, jumlah penduduknya yang besar tapi toh juga market share industri keuangan perbankan syariah masih saja kecil, sekitar 3,5 persen. Kelemahan permodalan ini pada akhirnya akan membuat industri kuangan syariah akan “dicaplok” oleh kaum pemilik modal (kapitalisme) demi mecari keuntungan dari Industri ini yang terus berkembang.
Sementara itu, Dr. Makhlani justru melihat ramainya negara-negara Barat dan Eropa terlibat dalam industri keuangan syariah sebagai peluang untuk membawa sistem ekonomi Islam menjadi milik global, sejalan dengan konsep Islam sebagai rahamatan lil’alamin. Industri ini merupakan sarana dakwah yang soft tanpa menimbulkan gesekan-gesekan seperti yang dikhawatirkan oleh Huntington melalui bukunya Clash of Civilization. Bahkan menurut Dr. Euis Amalia melalui bukunya, Potret Pendidikan Eonomi Islam di Indonesia (2012), sektor keuangan syariah ini justru menjadi pintu masuk bagi para pemikir ekonom Islam dan non-Muslim untuk mendalami ekonomi Islam sebagai sebuah ilmu dan sistem.
Ilmu ekonomi yang dipelajari di lembaga perguruan tinggi selama ini masih sangat didominasi oleh pandangan ekonom neoklasik yang titik beratnya adalah persaingan bebas. Buku teks yang menjadi rujukan utama masih buku Economics karya Paul A. Samuelson yang sangat kental corak pemikiran neoklasikalnya. Kenyataan ini kemudian disebut oleh Prof. Dr. Sri-Edi Swasono sebagai “hegemoni akademis”. Dalam buku-buku tersebut mahasiswa hanya diajarkan tentang persaingan melalui kekuatan pasar tanpa sedikitpun diajarkan tentang kerjasama, keadilan, persaudaraan, dll sebagaimana termaktub dalam konstitusi negara kita (lihat pasal 27, 33 dan 34 UUD 1945).
Di sinilah pentingnya keberadaan konstruksi arsitektur ilmu ekonomi Islam yang memiliki corak yang berbeda dengan ekonomi konvensional. Manusia sebagai pelaku ekonomi harus dilihat secara multidimensi yang memiliki motif ekonomi, moral, sosial dan agama.
Secara sejarah, pengembangan ekonomi Islam tidak terlepas dari pengaruh munculnya wacana Islamisai Ilmu Pengetahuan yang ramai diperbincangkan pada tahun 1970-an oleh berbagai sarjana Muslim dari berbagai disiplin ilmu. Gagasan Islamisasi Ilmu identik dengan dua intelektual Muslim, yaitu Alatas dan al-Faruqi. Alatas menekankan konsep Islamisasi Ilmu Pengetahuan pada penggalian genuitas tradisi lokal. Peradaban Islam klasik telah cukup lama berinteraksi dengan peradaban lain, sehingga umat Islam sudah memiliki kapasitas untuk mengembangkan bangunan ilmu pengetahuan sendiri. Pendekatan ini ingin menyebut ekonomi Islam sebagai “iqtishoduna” yaitu konsep ekonomi yang bersumber dari ajaran Islam itu sendiri dan bukan adaptasi dari ekonomi konvensional yang sudah ada.
Berbeda dengan Alatas, Al-Faruqi cenderung menerima konstruksi ilmu modern dengan syarat memasukkan prinsipi-prinsip Islam kedalamnya dan mengeliminasi unsur sekularismenya. Pendekatan Islamisasi Ilmu ala al-Faruqi menjadi arus dominan dalam pengembangan ekonomi Islam (keuangan dan perbankan syariah) di dunia begitupula di tanah air.
Kelompok pemikir yang mengembangkan ekonomi Islam juga dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok ahli hukum yang menggunakan pendekatan legalistik yang kemudian dengan cepat mengalami proses institusionalisasi dan legislasi di berbagai negara. Pendekatan inilah kemudia kenapa kajian ekonomi Islam awal mulanya berkembang di Fakultas Syariah di lingkungan UIN/IAIN/STAIN.
Kelompok kedua adalah kelompok prefesional hasil pendidikan Barat yang mengembangkan ekonomi Islam berbasis ekonomi konvensional. Corak keilmuan ekonomi Islam melalui pendekatan ini sangat dipengaruhi oleh ekonomi konvensional. Pendekatan ini menjadi pendorong munculnya kajian ekonomi Islam di perguruan tinggi umum di bawah naungan fakultas ekonomi.
Penggunaan istilah ekonomi Islam dan atau ekonomi syariah dan begitupula apakah ekonomi Islam berada di bawah fakultas syariah atau fakultas ekonomi di lingkungan UIN perlu diperjelas. Karena hal ini, menurut Dr. Euis Amalia akan berpengaruh pada titik penekanan kompetensi keilmuan dan gelar kesarjanaan. Pengistilahan ini juga akan berpengaruh pada tataran kebijakan dan regulasi. Wallahu’alambissawab.
Jakarta, 29 Februari 2012.