Ali Rama
Dosen Ekonomi Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Dalam sebuah Workshop Nasional
bertajuk “Arsitektur Ilmu Ekonomi Islam” yang diselenggarakan oleh UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta (28/2/2012) menghadirkan pakar eknomi Islam, pelaku
industri, akademisi dan pihak regulator. Acara ini didasari oleh keinginan
untuk mengkonstruksi ilmu ekonomi Islam yang solid dan teruji yang kemudian dapat
diterjemahkan dalam bentuk satuan kurikulum, lembaga dan institusi dan
peraturan dan kebijakan.
Prof. Dr. Dawam Rahardjo yang tampil
sebagai salah satu pembicara dalam acara tersebut mengilustrasikan rancang
bangun ekonomi Islam layaknya sebagai sebuah rumah yang memiliki (i) fondasi
sebagai nilai-nilai fundamental, (ii) lantai dasar sebagai sektor ekonomi dan
pelaku ekonomi, (iii) tiang atau pilar sebagai prinsip-prinsip, (iv) plafon
sebagai doktrin, dan (v) atap sebagai tujuan dan hakekat. Jika desain sudah
jelas maka dengan mudah akan menyusun sistem ekonomi Islam, baik mikro maupun
makro. Sehingga akhirnya menjadi sebuah sistem yang universal seperti
kapitalisme, sosialisme atau sosial demokrasi.
Tambahnya, gagasan ekonomi Islam awal
mulanya didesain sebagai sistem ekonomi makro universal sebagai bagian dari
ideologi Islamisme. Kemudian wacana ideologi ini dikembangkan menjadi
teori-teori ekonomi oleh sarjana-sarjana profesional hasil pendidikan Barat
dimana pembentukan lembaga-lembaga keuangan (bank Islam) sebagai bentuk
instruemtalnya.
Citra ekonomi Islam yang selalu
identik dengan keuangan dan perbankan syariah pada hakekatnya mempersempit
kajian ekonomi Islam yang tadinya bersifat makro menjadi mikro. Hal ini juga
diungkapkan oleh Prof. Dr. Edi-Sri Swasono yang melihat perkembangan ekonomi
Islam tereduksi hanya pada upaya membangun lembaga-lembaga keuangan syariah
dimana riba hanya dipersempit menjadi bunga perbankan saja. Padahal menurutnya
sistem ekonomi usurious tidak lain adalah bentuk ekonomi eksploitatif
yang memelihara dan menumbuhkan kesenjangan ekonomi, membiarkan terjadinya trade
off secara sistemik untuk kerugian si miskin dan si lemah dan membiarkan
merajalelanya brutalitas laissez-faire.
Perkembangan ekonomi Islam yang
didominasi oleh keuangan dan perbankan syariah yang menggunakan pendekatan
pragmatis-instrumentalis justru menurut Prof. Dr. Dawam Rahardjo akan mengalami
fenomena seperti yang dikemukakan oleh Paul Omerod sebagai the death of economics,
dimana ekonomi dipandang semata-mata sebagai masalah bisnis dan keuangan yang
menguntungkan seperti nampak dalam respon terhadap produk-produk keuangan
syariah. Marak dan tingginya tingkat penerimaan keuangan dan perbankan syariah
di negara-negara Barat dan Eropa tidak terlepas dari “corak kapitalisme”-nya
yang menguntungkan dan potensi pasar Islam yang besar. Konsentrasi pengembangan
ekonomi Islam pada sektor keuangan membuatnya sangat tergantung pada modal yang
besar dan permodalan adalah salah satu kelemahan yang dialami oleh
negara-negara Islam yang sedang berkembang. Di Indonesia misalnya, meskipun
regulasinya sudah cukup memadai, jumlah penduduknya yang besar tapi toh juga market
share industri keuangan perbankan syariah masih saja kecil, sekitar 3,5
persen. Kelemahan permodalan ini pada akhirnya akan membuat industri kuangan
syariah akan “dicaplok” oleh kaum pemilik modal (kapitalisme) demi mecari
keuntungan dari Industri ini yang terus berkembang.
Sementara itu, Dr. Makhlani justru
melihat ramainya negara-negara Barat dan Eropa terlibat dalam industri keuangan
syariah sebagai peluang untuk membawa sistem ekonomi Islam menjadi milik
global, sejalan dengan konsep Islam sebagai rahamatan lil’alamin.
Industri ini merupakan sarana dakwah yang soft tanpa menimbulkan
gesekan-gesekan seperti yang dikhawatirkan oleh Huntington melalui bukunya Clash
of Civilization. Bahkan menurut Dr. Euis Amalia melalui bukunya, Potret
Pendidikan Eonomi Islam di Indonesia (2012), sektor keuangan syariah ini
justru menjadi pintu masuk bagi para pemikir ekonom Islam dan non-Muslim untuk
mendalami ekonomi Islam sebagai sebuah ilmu dan sistem.
Ilmu ekonomi yang dipelajari di
lembaga perguruan tinggi selama ini masih sangat didominasi oleh pandangan
ekonom neoklasik yang titik beratnya adalah persaingan bebas. Buku teks yang
menjadi rujukan utama masih buku Economics karya Paul A. Samuelson yang
sangat kental corak pemikiran neoklasikalnya. Kenyataan ini kemudian disebut
oleh Prof. Dr. Sri-Edi Swasono sebagai “hegemoni akademis”. Dalam buku-buku
tersebut mahasiswa hanya diajarkan tentang persaingan melalui kekuatan pasar
tanpa sedikitpun diajarkan tentang kerjasama, keadilan, persaudaraan, dll sebagaimana
termaktub dalam konstitusi negara kita (lihat pasal 27, 33 dan 34 UUD 1945).
Di sinilah pentingnya keberadaan
konstruksi arsitektur ilmu ekonomi Islam yang memiliki corak yang berbeda
dengan ekonomi konvensional. Manusia sebagai pelaku ekonomi harus dilihat
secara multidimensi yang memiliki motif ekonomi, moral, sosial dan agama.
Secara sejarah, pengembangan ekonomi
Islam tidak terlepas dari pengaruh munculnya wacana Islamisai Ilmu Pengetahuan
yang ramai diperbincangkan pada tahun 1970-an oleh berbagai sarjana Muslim dari
berbagai disiplin ilmu. Gagasan Islamisasi Ilmu identik dengan dua intelektual
Muslim, yaitu Alatas dan al-Faruqi. Alatas menekankan konsep Islamisasi Ilmu
Pengetahuan pada penggalian genuitas tradisi lokal. Peradaban Islam klasik
telah cukup lama berinteraksi dengan peradaban lain, sehingga umat Islam sudah
memiliki kapasitas untuk mengembangkan bangunan ilmu pengetahuan sendiri.
Pendekatan ini ingin menyebut ekonomi Islam sebagai “iqtishoduna” yaitu konsep
ekonomi yang bersumber dari ajaran Islam itu sendiri dan bukan adaptasi dari
ekonomi konvensional yang sudah ada.
Berbeda dengan Alatas, Al-Faruqi
cenderung menerima konstruksi ilmu modern dengan syarat memasukkan prinsipi-prinsip
Islam kedalamnya dan mengeliminasi unsur sekularismenya. Pendekatan Islamisasi
Ilmu ala al-Faruqi menjadi arus dominan dalam pengembangan ekonomi Islam
(keuangan dan perbankan syariah) di dunia begitupula di tanah air.
Kelompok pemikir yang mengembangkan
ekonomi Islam juga dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok ahli hukum yang
menggunakan pendekatan legalistik yang kemudian dengan cepat mengalami proses
institusionalisasi dan legislasi di berbagai negara. Pendekatan inilah kemudia
kenapa kajian ekonomi Islam awal mulanya berkembang di Fakultas Syariah di
lingkungan UIN/IAIN/STAIN.
Kelompok kedua adalah kelompok
prefesional hasil pendidikan Barat yang mengembangkan ekonomi Islam berbasis
ekonomi konvensional. Corak keilmuan ekonomi Islam melalui pendekatan ini
sangat dipengaruhi oleh ekonomi konvensional. Pendekatan ini menjadi pendorong
munculnya kajian ekonomi Islam di perguruan tinggi umum di bawah naungan
fakultas ekonomi.
Penggunaan istilah ekonomi Islam dan
atau ekonomi syariah dan begitupula apakah ekonomi Islam berada di bawah
fakultas syariah atau fakultas ekonomi di lingkungan UIN perlu diperjelas.
Karena hal ini, menurut Dr. Euis Amalia akan berpengaruh pada titik penekanan
kompetensi keilmuan dan gelar kesarjanaan. Pengistilahan ini juga akan
berpengaruh pada tataran kebijakan dan regulasi. Wallahu’alambissawab.
Jakarta, 29 Februari 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar