Selasa, 07 Februari 2012

Membangun Konektivitas Ekonomi


Oleh Ali Rama
Prestasi pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2011 cukup membanggakan, tumbuh 6,5 persen. Meskipun pertumbuhan ekonomi global akan melambat hanya dikisaran 4 persen akibat krisis utang di Eropa dan Amerika, prediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2012 tidak akan terganggu secara signifikan. Pemerintah masih optimis perekonomian kita masih akan tumbuh sekitar 6,5 persen tahun 2012 ini.
Optimisme di tegah krisis keuangan global ini didasari oleh fakta bahwa portofolio pertumbuhan ekonomi Indonesia  digerakkan oleh konsumsi dalam negeri. Di sisi lain, ekonomi RI tidak terlalu tergantung dengan negara-negara yang saat ini dililit krisis utang. Bahkan pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa mencapai sekitar 7-8 persen jika pertumbuhan ekonomi berbasis pengembangan infrastruktur gencar dilakukan di tahun-tahun mendatang.
Semua mazhab ekonomi di dunia menyepakati bahwa infrastruktur adalah faktor utama pemicu pertumbuhan ekonomi. Kualitas infrastruktur suatu bangsa berbanding lurus dengan tingkat perekonomian bangsa itu. Infrastruktur yang baik akan memberikan nilai tambah terhadap perekonomian. Semakin baik kualitas infrastruktur, semakin tertarik investor menanamkan modalnya dalam suatu perekonomian. Kondisi ini juga akan menarik minat para pelaku usaha untuk terlibat dalam aktivitas ekonomi. Akibatnya, ekonomi secara keseluruhan akan berkembang.
Infrastruktur pendukung pertumbuhan ekonomi misalnya layanan jalan mencakup jalur jalan tol penghubung antar kota, jembatan penghubung antar pulau, kereta, pelabuhan, dan bandara, pasokan energi dan layanan komunikasi.
Pertumbuhan ekonomi dan investasi negeri kita saat ini belum diimbangi oleh percepatan pembangunan dan ketersediaan infrastruktur yang memadai. Bahkan banyak investor asing dan pelaku usaha lokal yang mengeluhkan dan bahkan membatalkan investasinya lantaran keluhan ketidaktersediaan infrastruktur yang memadai, yang ujug-ujungnya berakibat pada biaya produksi yang tinggi. Infrastruktur yang jelek akan berakibat pada biaya ekonomi tinggi.
Anggaplah misalnya biaya pengapalan kontainer dari Padang ke Jakarta menelan biaya sebesar US$ 600, sedangkan dari Jakarta ke Singapur hanya sekitar US$ 185. Bahkan hasil data yang dikeluarkan World Economic Forum (WEF) menyebutkan bahwa biaya logistik di Indonesia mencapai 17 persen dari biaya produksi. Buruknya infrastruktur ini berakibat pada daya saing ekonomi kita yang rendah.
Laporan dari Global Competitiveness Index (GCI) menempatkan infrastruktur Indonesia diurutan 82 dengan skor 3,6  masih kalau jauh dari negeri tetangga seperti Singapura, Malaysia dan Thailand yang masing berada diranking 5, 30 dan 35.
Penguatan sektor infrastruktur khususnya konektivitas seharusnya menjadi prioritas utama dalam rancangan pembangunan ekonomi nasional mengingat karakter Indonesia sebagai negara kepulauan yang sepatutnya memiliki keterhubungan antar satu pulau dengan pulau lainnya. Konektivitas antar wilayah akan menciptakan integrasi ekonomi. Lemahnya konektivitas antar pulau dan atau antar wilayah di Indonesia menyebabkan terjadinya disparitas pembangunan antar pulau dan wilayah di tanah air selama ini. Aktivitas ekonomi hanya terkonsentarsi di kawasan perkotaan khususnya di pulau Jawa dan Sumatra.
Persentasi orang miskin mencapai sekitar 60 persen berada di daerah pedesaan lantaran tidak bisa mengakses langsung ke pusat-pusat pertumbuhan ekonomi. Penyebaran sarana transportasi yang tidak merata menciptakan wilayah atau daerah yang terisolir dari spektrum pertumbuhan ekonomi nasional. Dampaknya adalah biaya logistik yang semakin tinggi dan disparitas harga antar daerah yang semakin membesar.  
Rancangan pembangunan ekonomi nasional yang dituangkan melalui Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) sudah tepat untuk dilakukan. Tujuan utama yang ingin dicapai dari MP3EI adalah optimalisasi pengembangan potensi daerah, sinergisitas antara pengembangan ekonomi kewilayahan dengan pengembangan ekonomi sektoral melalui daya dukung infrastruktur yang memadai. Enam koridor ekonomi yang dicanangkan akan membangun pusat-pusat pertumbuhan disetiap koridor berbasiskan kluster industri unggulan. Pusat-pusat pertumbuhan berbasis unggulan (komoditas) ini akan saling terhubung melalui program konektivitas nasional (intra dan inter konektivitas).
Kebutuhan investasi untuk mendukung megaproyek di MP3I hingga 2014 mencapai sekitar Rp 4.000 triliun. Porsi untuk investasi pengembangan infrastruktur tercatat sebesar Rp 1.774 sedangkan untuk investasi energi dan pembangkit sebesar Rp 669 triliun. Total kebutuan dana MP3EI itu, pemerintah hanya akn berkontribusi sekitar 10 persen, sedangkan sisanya diupayakan keterlibatan aktif oleh BUMN dan swasta. Menurut data dari Menko Perekonomian Bidang Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah, anggaran infrastruktur yang terserap sejak 2004 sampai 2011 sudah mencapai sekiatr Rp 350 triliun. Di tahun 2011, anggaran infrastrukur mencapai Rp 123 trilliun naik sekiatr 50 persen dari tahun sebelumnya, jumlah ini masih sekitar 1,8 persen dari PDB 2011. Untuk tahun 2012, pemerintah mencanangkan sebesar Rp 170 triliun dalam bentuk belanja modal dan sebagian besar untuk infrastruktur.
Idealnya untuk mencapai target ketersediaan infrastruktur sebagai pendukung pertumbuhan ekonomi nasional dibutuhkan minimal dana sekitar 5 persen dari GDP. Investasi di bidang infrastruktur memang membutuhkan dana yang besar dan bersifat jangka panjang. Namun dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi sangat besar. Oleh karena itu investasi di bidang ini perlu dilakukan secara bersama baik pihak pemerintah, swasta dan maupun asing.
Pembangunan infrastruktur untuk mencapai konektivitas nasional sejalan dengan program ASEAN connectivity yang akan terbentuk melalui ASEAN community pada 2015 mendatang. Program MP3EI akan membantu menciptakan integrasi eonomi nasional di seluruh wilayah Indonesia dan melalui ASEAN connectivity akan menghubungakn Indonesia dengan negara-negara ASEAN. Wallahu’alam bissawab
Jakarta, 12 Januari 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar