Kamis, 05 Januari 2012

Peran "Polisi Syariah" Diperluas


Oleh Ali Rama
Kehadiran Dewan Pengawas Syariah (DPS) dalam struktur organisasi Lembaga Keuangan Syariah (LKS) bertujuan untuk memastikan konsistensi penerapan ketentuan dan prinsip syariah dalam operasional dan produk LKS. Namun melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 13/23 Tahun 2011, peran DPS diperluas dan diharuskan terlibat dalam pengelolaan risiko di bank syariah. DPS semestinya memahami manajemen risiko (risk management) dalam perbankan syariah khususnya terkait dengan ruang lingkup pengawasan di bank syariah.
Sontak saja, aturan BI baru ini ditanggapi oleh sebagian anggota DSN-MUI tidak sesuai dengan amanat UU Perbankan Syariah dimana ruang lingkup kompetensi peran dan tanggung jawabnya sebagai “polisi syariah” dalam sebuah LKS.
Kenapa BI mengharapkan DPS terlibat dalam manajemen risiko bank syariah? Tentunya ini terkait dengan ruang lingkup perannya sebagai pengawas syariah yang harus memastikan prinsip syariah konsisten diterapkan bank syariah. Jika bank syariah melakukan pelanggaran syariah dalam operasional ataupun produk dan layanan maka ini akan berpotensi menciptakan customer migration (perpindahan nasabah) ataupun liquidity switching and withdrawal (perpindahan dan penarikan likuiditas) khsusunya oleh nasabah loyalis bank syariah.
Nasabah loyalis biasanya memilih bank syariah karena atas pertimbangan sentimen keagamaan (religious motive). Kebutuhan mereka akan transaksi keuangan yang halal dapat dipenuhi oleh perbankan syariah atau LKS lainnya. Namun jika reputasi kesyariahan suatu bank syariah sudah dipertanyakan lagi maka ini berpeluang menciptakan migrasi nasabah. Potensi risiko ini disebut sebagai reputational risk (risiko reputasi) atau biasa juga disebut sebagai shariah compliant risk.
Oleh karena itu konsistensi peran DPS sebagai “polisi syariah” dalam struktur sebuah LKS demi kemurniaan syariah tetap terjaga akan sangat membantu dalam mitigasi risiko migrasi nasabah. Tentunya, tugas DPS di manajemen risiko tidak sampai pada penghitungan detail tapi hanya sebatas pemahaman tehadap pengelolaan risiko.
Peran DPS
Lembaga keuangan syariah (LKS) baik perbankan, asuransi ataupun reksadana adalah lembaga keuangan yang beroperasi sesuai dengan ketentuan dan prinsip syariah. Untuk menjaga konsistensi operasi dan praktek terhadap syariah maka wajib bagi setiap LKS untuk memiliki institusi internal yang independen yang secara khusus menilai dan memastikan pemenuhan prinsip syariah atas pedoman operasional dan produk yang dikeluarkan bank dan hal ini sejalan dengan UU Perbankan Syariah No. 21/2008. Salah satu perbedaan yang mendasar dalam struktur organisasi bank konvensional dan bank syariah adalah adanya kewajiban memposisikan DPS pada perbankan syariah, sedangkan di bank konvensional tidak ada aturan yang demikian.
DPS pada dasarnya merupakan perpanjangan tangan Dewan Syariah Nasional (DSN) dalam merealisasikan sekaligus mengawasi penerapan fatwa-fatwa yang telah dikeluarkan oleh DSN terkait dengan perbankan, asuransi, pasar modal, reksadan, dan lain-lain. Jika ada bank syariah yang melanggar atau menyimpan dari garis panduan yang telah ditetapkan oleh DSN maka DPS bisa melakukan teguran dan melaporkan ke BI sebagai lembaga pengawas perbankan. Keanggotaan DPS ini biasanya terdiri dari 2 sampai 3 orang yang berkedudukan di kantor pusat LKS dimana dalam struktur perusahaan diletakkan pada posisi setingkat dengan Dewan Komisaris pada setiap perusahaan (LKS).
Tatakelola (governance) keberadaan DPS pada lembaga keuangan di berbagai negara berbeda-beda. Di Indonesia misalnya memiliki dewan syariah di tingkat nasional dan korporasi (perusahaan). DPS di tingkat korporasi adalah perpanjangan tangan dari Dewan Syariah Nasional. Fatwa DSN menjadi pijakan utama bagi setiap DPS menjalankan fungsi pengawasan di tingkat masing-masing korporasi. Sedangkan mayoritas di negara-negara Timur Tengah hanya memiliki Dewan Syariah (Shariah Board) di tingkat korporasi. Tatakelola seperti ini berpotensi untuk menciptakan perbedaan standarisasi kesyariahan. Bisa saja fatwa Dewan Syariah perusahaan A berbeda dengan perusahaan B. Buruknya lagi, perbedaan standarisasi kesyariahan ini tidak bisa “diseragamkan” karena tidak adanya Dewan Syariah Nasional sebagai rujukan utama atas sebuah fatwa produk dan layanan perbankan. Dari aspek governance tentunya keberadaan DPS di Indonesia masih lebih baik dari negara-negara di Timur Tengah.
Karena fungsinya sebagai pengawas aspek kesyariahan, maka persyaratan utama bagi keanggotaan DSN sudah seharusnya mereka yang memiliki kualifikasi integral dan multidisplin ilmu khususnya ilmu fiqhi muamalat dan ilmu ekonomi dan keuangan. Bahkan dengan aturan BI yang baru (PBI No. 13/23 Tahun 2011) setiap DSN harus mengerti aspek manajemen risiko yang dihadapi oleh perbankan syariah.
Permasalahan Yang Terjadi
Peran DPS sangat vital dalam mengawal kesyariahan LKS. Mereka menjadi pihak yang bertanggungjawab penuh jika ada lembaga perbankan atau lembaga keuangan lainnya yang menyimpan dari syariah. Namun fenomenan yang sering terjadi saat ini, di beberapa bank syariah misalnya peran vital dari DPS tidak berjalan sebagaiman mestinya. Mereka kadang gagal mengawasi praktek riil produk-produk yang dikeluarkan oleh bank. Bahkan terkadang pihak Bank Indonesia lebih cepat mengidentifikasi adanya transaksi-transaksi yang mencurigakan yang melanggar prinsip syariah dibandingkan dengan pengawas syariah yang ada di bank. Anggaplah kasus “berkebun emas” yang belakangan ini marak terjadi pada perbankan syariah. Pihak BI sudah sering kali memberikan warning adanya kecenderungan tindakan spekulasi dan penyalahgunaan kontrak gadai emas untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya.
Yang juga terjadi dilapangan saat ini adalah proses pengangkatan anggota DPS tidak didasari pada kompotensi keiilmuan di bidang ilmu ekonomi dan keuangan dan fiqhi muamalat, tapi teradang hanya didasari oleh ketenaran, ketokohan dan kharismanya di tengah masyarakat. Akibatnya, mereka tidak bisa melakukan fungsi pengawasan aspek kesyariahan praktek perbankan ataupun mengusulkan produk-produk inovatif yang sesuai syariah lantaran minimnya keilmuan dari segi fiqhi muamalat, perbankan, akuntansi, ekonomi dan aspek-aspek lainnya. “Intelectual mismatch” ini tidak hanya terjadi di lembaga keuangan syariah saja tapi juga banyak yang duduk di bangku komisaris perusahaan-perusahaan BUMN di negeri ini yang kadang ditempatkan di situ bukan karena kompotensinya dalam manajemen perusahaan atau industrinya tapi sebagai bentuk balas jasa politik belaka.
Permasalahan lain yang sering menjadi issu pada Dewan Pengawas Syariah yang tidak hanya terjadi di Indonesia adalah keterbatasan SDM. Jumlah stock ulama yang paham ekonomi dan perbankan secara mendalam atau ekonom yang memahami ilmu fiqhi muamalat sangat minim kuantitasnya. Pada tataran global, survey yang dilakukan oleh funds at work di negara-negara Teluk (GCC) menemukan ada 94 scholars menempati 467 posisi keanggotaan sebagai shariah board (dewan syariah) di berbagai perusahaan di GCC. Sekitar 54,18 persen posisi dewan syariah (shariah board) di negara-negara GCC hanya diisi oleh 11 persen oleh dewan syariah aktif. Contohnya misalnya, ada seorang scholar yang mejadi shariah board di 46 perusahaan sekaligus. Coba bayangkan ada seorang scholar harus mengawasi kesyariahan 46 perusahaan secara sekaligus. Apakah sanggup membaca puluhan laporan perusahaan secara detail yang jumlahnya setiap satu perusahaan bisa mencapai ratusan halaman. Bahkan mungkin karena kesibukan mereka tidak pernah membaca laporan perusahaan yang disajikan kepada mereka.
Solusi
Oleh karenanya, karena kita memahami kekurangan yang terjadi maka perlu dilakukan pembinaan dan pendidikan secara serius untuk memproduksi doktor dan ilmuan yang berkemampuan multidisiplin ilmu sebanyak-banyaknya khususnya integrasi keilmuan antara bidang fiqhi muamalat dan ekonomi sekaligus. Bagi mereka yang saat ini sudah menjabat sebagai DPS maka perlu mengupgrade keilmuannya khususnya pada dua bidang di atas supaya fungsi pengawasan bisa berjalan secara optimal.
Untuk meningkatkan fungsi dan peran DPS pada lembaga-lembaga keuangan syariah, maka kedudukan DPS sebaiknya menjadi profesi yang dijalankan secara profesional dalam rangka mengembangkan keuangan syariah di tanah air. Jika DPS bertindak secara full time maka merekapun harus punya staf teknis yang dapat membantu tugas dan wewenangnya. Mereka bisa bersinergi dengan pihak manajemen lembaga keuangan syariah untuk mengembangkan produk-produk inovatif syariah. Mereka juga perlu secara aktif mensosialisasikan konsep keuangan syariah kepada khalayak umum di setiap aktivitas yang dilakukannya. Jika hal ini dilakukan maka persepsi DPS sebagai “pajangan” saja bisa ditepis dengan sendirinya. Wallahu’alam bissawab.
Jakarta, 24 Desember 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar