Oleh Ali Rama
Kehadiran Dewan Pengawas Syariah
(DPS) dalam struktur organisasi Lembaga Keuangan Syariah (LKS) bertujuan untuk
memastikan konsistensi penerapan ketentuan dan prinsip syariah dalam
operasional dan produk LKS. Namun melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.
13/23 Tahun 2011, peran DPS diperluas dan diharuskan terlibat dalam pengelolaan
risiko di bank syariah. DPS semestinya memahami manajemen risiko (risk
management) dalam perbankan syariah khususnya terkait dengan ruang lingkup
pengawasan di bank syariah.
Sontak saja, aturan BI baru ini
ditanggapi oleh sebagian anggota DSN-MUI tidak sesuai dengan amanat UU
Perbankan Syariah dimana ruang lingkup kompetensi peran dan tanggung jawabnya
sebagai “polisi syariah” dalam sebuah LKS.
Kenapa BI mengharapkan DPS terlibat
dalam manajemen risiko bank syariah? Tentunya ini terkait dengan ruang lingkup
perannya sebagai pengawas syariah yang harus memastikan prinsip syariah
konsisten diterapkan bank syariah. Jika bank syariah melakukan pelanggaran
syariah dalam operasional ataupun produk dan layanan maka ini akan berpotensi
menciptakan customer migration (perpindahan nasabah) ataupun liquidity
switching and withdrawal (perpindahan dan penarikan likuiditas) khsusunya
oleh nasabah loyalis bank syariah.
Nasabah loyalis biasanya memilih bank
syariah karena atas pertimbangan sentimen keagamaan (religious motive).
Kebutuhan mereka akan transaksi keuangan yang halal dapat dipenuhi oleh
perbankan syariah atau LKS lainnya. Namun jika reputasi kesyariahan suatu bank
syariah sudah dipertanyakan lagi maka ini berpeluang menciptakan migrasi
nasabah. Potensi risiko ini disebut sebagai reputational risk (risiko
reputasi) atau biasa juga disebut sebagai shariah compliant risk.
Oleh karena itu konsistensi peran DPS
sebagai “polisi syariah” dalam struktur sebuah LKS demi kemurniaan syariah
tetap terjaga akan sangat membantu dalam mitigasi risiko migrasi nasabah.
Tentunya, tugas DPS di manajemen risiko tidak sampai pada penghitungan detail
tapi hanya sebatas pemahaman tehadap pengelolaan risiko.
Peran DPS
Lembaga keuangan syariah (LKS) baik
perbankan, asuransi ataupun reksadana adalah lembaga keuangan yang beroperasi
sesuai dengan ketentuan dan prinsip syariah. Untuk menjaga konsistensi operasi
dan praktek terhadap syariah maka wajib bagi setiap LKS untuk memiliki
institusi internal yang independen yang secara khusus menilai dan memastikan
pemenuhan prinsip syariah atas pedoman operasional dan produk yang dikeluarkan
bank dan hal ini sejalan dengan UU Perbankan Syariah No. 21/2008. Salah satu
perbedaan yang mendasar dalam struktur organisasi bank konvensional dan bank
syariah adalah adanya kewajiban memposisikan DPS pada perbankan syariah,
sedangkan di bank konvensional tidak ada aturan yang demikian.
DPS pada dasarnya merupakan
perpanjangan tangan Dewan Syariah Nasional (DSN) dalam merealisasikan sekaligus
mengawasi penerapan fatwa-fatwa yang telah dikeluarkan oleh DSN terkait dengan
perbankan, asuransi, pasar modal, reksadan, dan lain-lain. Jika ada bank syariah
yang melanggar atau menyimpan dari garis panduan yang telah ditetapkan oleh DSN
maka DPS bisa melakukan teguran dan melaporkan ke BI sebagai lembaga pengawas
perbankan. Keanggotaan DPS ini biasanya terdiri dari 2 sampai 3 orang yang
berkedudukan di kantor pusat LKS dimana dalam struktur perusahaan diletakkan
pada posisi setingkat dengan Dewan Komisaris pada setiap perusahaan (LKS).
Tatakelola (governance)
keberadaan DPS pada lembaga keuangan di berbagai negara berbeda-beda. Di
Indonesia misalnya memiliki dewan syariah di tingkat nasional dan korporasi
(perusahaan). DPS di tingkat korporasi adalah perpanjangan tangan dari Dewan
Syariah Nasional. Fatwa DSN menjadi pijakan utama bagi setiap DPS menjalankan
fungsi pengawasan di tingkat masing-masing korporasi. Sedangkan mayoritas di
negara-negara Timur Tengah hanya memiliki Dewan Syariah (Shariah Board)
di tingkat korporasi. Tatakelola seperti ini berpotensi untuk menciptakan
perbedaan standarisasi kesyariahan. Bisa saja fatwa Dewan Syariah perusahaan A
berbeda dengan perusahaan B. Buruknya lagi, perbedaan standarisasi kesyariahan
ini tidak bisa “diseragamkan” karena tidak adanya Dewan Syariah Nasional
sebagai rujukan utama atas sebuah fatwa produk dan layanan perbankan. Dari
aspek governance tentunya keberadaan DPS di Indonesia masih lebih baik
dari negara-negara di Timur Tengah.
Karena fungsinya sebagai pengawas
aspek kesyariahan, maka persyaratan utama bagi keanggotaan DSN sudah seharusnya
mereka yang memiliki kualifikasi integral dan multidisplin ilmu khususnya ilmu
fiqhi muamalat dan ilmu ekonomi dan keuangan. Bahkan dengan aturan BI yang baru
(PBI No. 13/23 Tahun 2011) setiap DSN harus mengerti aspek manajemen risiko
yang dihadapi oleh perbankan syariah.
Permasalahan Yang Terjadi
Peran DPS sangat vital dalam mengawal
kesyariahan LKS. Mereka menjadi pihak yang bertanggungjawab penuh jika ada
lembaga perbankan atau lembaga keuangan lainnya yang menyimpan dari syariah.
Namun fenomenan yang sering terjadi saat ini, di beberapa bank syariah misalnya
peran vital dari DPS tidak berjalan sebagaiman mestinya. Mereka kadang gagal
mengawasi praktek riil produk-produk yang dikeluarkan oleh bank. Bahkan
terkadang pihak Bank Indonesia lebih cepat mengidentifikasi adanya
transaksi-transaksi yang mencurigakan yang melanggar prinsip syariah
dibandingkan dengan pengawas syariah yang ada di bank. Anggaplah kasus
“berkebun emas” yang belakangan ini marak terjadi pada perbankan syariah. Pihak
BI sudah sering kali memberikan warning adanya kecenderungan tindakan
spekulasi dan penyalahgunaan kontrak gadai emas untuk mencari keuntungan
sebesar-besarnya.
Yang juga terjadi dilapangan saat ini
adalah proses pengangkatan anggota DPS tidak didasari pada kompotensi keiilmuan
di bidang ilmu ekonomi dan keuangan dan fiqhi muamalat, tapi teradang hanya
didasari oleh ketenaran, ketokohan dan kharismanya di tengah masyarakat. Akibatnya,
mereka tidak bisa melakukan fungsi pengawasan aspek kesyariahan praktek
perbankan ataupun mengusulkan produk-produk inovatif yang sesuai syariah
lantaran minimnya keilmuan dari segi fiqhi muamalat, perbankan, akuntansi,
ekonomi dan aspek-aspek lainnya. “Intelectual mismatch” ini tidak hanya
terjadi di lembaga keuangan syariah saja tapi juga banyak yang duduk di bangku
komisaris perusahaan-perusahaan BUMN di negeri ini yang kadang ditempatkan di
situ bukan karena kompotensinya dalam manajemen perusahaan atau industrinya
tapi sebagai bentuk balas jasa politik belaka.
Permasalahan lain yang sering menjadi
issu pada Dewan Pengawas Syariah yang tidak hanya terjadi di Indonesia adalah
keterbatasan SDM. Jumlah stock ulama yang paham ekonomi dan perbankan
secara mendalam atau ekonom yang memahami ilmu fiqhi muamalat sangat minim
kuantitasnya. Pada tataran global, survey yang dilakukan oleh funds at work
di negara-negara Teluk (GCC) menemukan ada 94 scholars menempati 467
posisi keanggotaan sebagai shariah board (dewan syariah) di berbagai
perusahaan di GCC. Sekitar 54,18 persen posisi dewan syariah (shariah board)
di negara-negara GCC hanya diisi oleh 11 persen oleh dewan syariah aktif.
Contohnya misalnya, ada seorang scholar yang mejadi shariah board
di 46 perusahaan sekaligus. Coba bayangkan ada seorang scholar harus
mengawasi kesyariahan 46 perusahaan secara sekaligus. Apakah sanggup membaca
puluhan laporan perusahaan secara detail yang jumlahnya setiap satu perusahaan
bisa mencapai ratusan halaman. Bahkan mungkin karena kesibukan mereka tidak
pernah membaca laporan perusahaan yang disajikan kepada mereka.
Solusi
Oleh karenanya, karena kita memahami
kekurangan yang terjadi maka perlu dilakukan pembinaan dan pendidikan secara
serius untuk memproduksi doktor dan ilmuan yang berkemampuan multidisiplin ilmu
sebanyak-banyaknya khususnya integrasi keilmuan antara bidang fiqhi muamalat
dan ekonomi sekaligus. Bagi mereka yang saat ini sudah menjabat sebagai DPS
maka perlu mengupgrade keilmuannya khususnya pada dua bidang di atas supaya
fungsi pengawasan bisa berjalan secara optimal.
Untuk meningkatkan fungsi dan peran
DPS pada lembaga-lembaga keuangan syariah, maka kedudukan DPS sebaiknya menjadi
profesi yang dijalankan secara profesional dalam rangka mengembangkan keuangan
syariah di tanah air. Jika DPS bertindak secara full time maka merekapun
harus punya staf teknis yang dapat membantu tugas dan wewenangnya. Mereka bisa
bersinergi dengan pihak manajemen lembaga keuangan syariah untuk mengembangkan
produk-produk inovatif syariah. Mereka juga perlu secara aktif
mensosialisasikan konsep keuangan syariah kepada khalayak umum di setiap
aktivitas yang dilakukannya. Jika hal ini dilakukan maka persepsi DPS sebagai
“pajangan” saja bisa ditepis dengan sendirinya. Wallahu’alam bissawab.
Jakarta, 24 Desember 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar