Selasa, 03 Januari 2012

Kerancuan Praktik ‘Berkebun Emas’

Ali Rama
Pengurus Pusat Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI)
Kenaikan harga emas beberapa waktu belakangan ini membuat banyak orang beramai-ramai menjadikan emas sebagai instrumen investasi karena menjanjikan keuntungan yang lebih baik. Harga emas 10 tahun terakhir tumbuh 40 persen per tahun. Harga emas yang tinggi dan terus naik dari waktu ke waktu juga membawa berkah untuk perbankan yang menyediakan produk jasa gadai emas syariah.
Menurut data dari Bank Indonesia, transaksi gadai emas syariah di industri perbankan syariah tumbuh hingga 15 persen sampai akhir semester I-2011. Hingga Juli 2011, total transaksi akad qardh pada perbankan syariah mencapai Rp 7,5 triliun atau 8,9 persen dari total pembiayaan yang diberikan sebesar Rp 85 triliun. Sementara, porsi bisnis gadai emas syariah berada pada kisaran tiga sampai enam persen dari total pinjaman. Hasilnya, perbankan meraup keuntungan yang besar dari transaksi tersebut.
Semakin harga emas naik, peminat gadai emas syariah semakin banyak. Sebab, saat ini gadai emas syariah sudah menjadi salah satu pilihan instrumen investasi. Gadai emas syariah berfungsi sebagai tempat penitipan emas yang akan diambil nasabah dalam waktu tertentu. Nasabah meyakini, saat emas simpanannya diambil, harga emas sudah naik. Kenaikan harga emas akan menutupi bahkan melebihi biaya penitipan yang dikenakan oleh perbankan syariah kepada nasabah. Margin tersebut menjadi keuntungan nasabah.
Harga emas saat ini berada pada kisaran 1.747 dolar AS, bahkan pernah mencapai angka 1.923 dolar AS per troy ounce. Sebagian orang menganggap, investasi emas cocok dipakai sebagai pelindung nilai kekayaan. Emas nilainya cenderung stabil dan dianggap tidak mempunyai efek inflasi atau biasa disebut save heaven. Artinya, membeli emas dan menabung dalam emas merupakan aset yang paling aman dan stabil.
Kenaikan emas saat ini juga tidak terlepas dan dipengaruhi, antara lain, oleh spekulasi memburuknya krisis utang di negara-negara Eropa dan turunnya proyeksi pertumbuhan ekonomi global. Konsekuensinya, para investor berlomba memburu emas untuk melindungi investasi mereka.
Kepentingan komersial
Kecenderungan kenaikan harga emas dan tingginya minat masyarakat untuk berinvestasi emas direspons oleh perbankan syariah melalui layanan gadai emas syariah. Industri perbankan syariah mendapatkan untung dari biaya administrasi penitipan emas di safe deposit box bank. Kenaikan transaksi gadai emas syariah pada berbankan syariah memunculkan istilah ‘berkebun emas’. Skim gadai emas syariah digunakan sebagai sarana untuk meraup keuntungan oleh investor dan pelaku perbankan syariah di tengah kenaikan harga emas dunia saat ini.
Penggunaan produk layanan gadai emas syariah untuk kepentingan komersial dan bisnis (tijarah) dianggap melanggar prinsip dasar dari gadai emas syariah yang tujuan utamanya bersifat sosial (tabarru’), bukan untuk mencari keuntungan. Hakikatnya, produk gadai emas pada perbankan syariah adalah untuk membantu orang yang kesulitan keuangan jangka pendek, lalu mereka mendapatkan pinjaman (al-qard) dengan jaminan gadai emas (rahn emas) dengan kewajiban untuk membayar biaya penitipan emas dengan skim ijarah. Skema akad ini diatur dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) Nomor 26 tentang Rahn Emas dan Qardh Nomor 19.
Dalam Fatwa DSN Nomor 26, gadai emas (rahn emas) menggabungkan tiga bentuk transaksi, yaitu transaksi qardh, al-rahn, dan ijarah. Pinjaman jangka pendek yang diberikan kepada nasabah menggunakan skim qardh (pinjaman tanpa bunga), di mana emas sebagai jaminan atas pinjaman tersebut menggunakan skim rahn. Sementara itu, ongkos dan biaya penyimpanan barang (emas) yang dikenakan kepada nasabah didasarkan pada skim ijarah.
Rekayasa finansial yang dilakukan dalam bentuk ‘kebun emas’ jelas tidak sejalan dengan fatwa DSN tersebut. Menggunakan produk gadai emas syariah untuk kepentingan komersial dan bisnis ini justru akan mengganggu produk-produk perbankan syariah lainnya, seperti pembiayaan bagi hasil dan murabahah.
Pembiayaan qardh hanya sebagai pelengkap, bukan sebagai pembiayaan utama dari perbankan syariah. Sehingga, qardh tidak digunakan secara terus-menerus untuk rahn. Apalagi, jika portofolio pembiayaan qardh (gadai emas) ini semakin membesar, justru akan mengarah pada kegiatan spekulasi dan bubble, yang pada akhirnya tidak menyentuh sektor riil.
Jika perbankan syariah cenderung untuk memperbesar portofolio produk berbasis gadai emas syariah ini dengan motif ‘berkebun emas’. Hal ini justru membuat perbankan syariah secara perlahan-lahan menjadi lembaga pegadaian dan toko emas. Tentunya, bertentangan dengan tujuan utamanya sebagai lembaga intermediasi yang mengembangkan sektor ekonomi riil.
Perlu pengawasan
Sebagai respons atas fenomena ‘berkebun emas’ di perbankan syariah, Bank Indonesia sebagai pihak regulator dan pengawas perbankan perlu melakukan kontrol dan pengawasan secara ketat supaya portofolio pembiayaan ini tidak menjadi produk utama pada perbankan syariah. Pengawasan yang dilakukan tentunya harus penuh kehati-hatian, jangan sampai justru mematikan daya inovasi dan kreativitas pelaku perbankan syariah dalam penyaluran pembiayaan kepada nasabah atau masyarakat.
Untuk mencegah terjadinya praktik ‘berkebun emas’, Bank Indonesia perlu melakukan pengaturan pada pelaku perbankan syariah, misalnya, pembatasan portofolio gadai emas yang tidak lebih dari 10 persen dari total pembiayaan yang diberikan. Pembiayaan qardh hanya sebagai pelengkap dari transaksi utama. Frekuensi berapa kali emas boleh digadaikan juga perlu dibatasi. Transaksi hanya boleh dilakukan sekali dan tidak boleh berkali-kali. Menggadaikan emas secara berkali-kali pasti motif utamanya adalah untuk ‘berkebun emas’ dan ini berpotensi menciptakan spekulasi dan bubble.
Yang perlu dipertegas di sini adalah transaksi gadai emas syariah yang ditawarkan oleh perbankan syariah itu tidak melanggar prinsip syariah selama sesuai dengan ketentuan dari fatwa DSN. Jual beli emas dan rahn emas itu dibolehkan. Masalah utamanya adalah jika aktivitas ‘berkebun emas’ menjadi prioritas dan portofolio yang dominan dalam pembiayaan perbankan syariah. Karena, ini akan bertentangan dengan fungsi utama perbankan syariah sebagai penggerak sektor ekonomi riil.
Tulisan ini diterbitkan di Opini Republika (12/11/2011)
(http://koran.republika.co.id/koran/24)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar