Selasa, 17 Januari 2012

Saintifikasi Ekonomi Islam


Oleh Ali Rama
Ekonomi islam saat ini mengalami perkembangan yang cukup pesat baik di tingkat lokal maupun di tingkat global. Indikator utamanya terlihat pada munculnya berbagai institusi dan produk keuangan syariah sebagai alternatif pilihan selain dari sistem konvensional yang sudah ada. Saat ini lembaga keuangan syariah telah memiliki pasar modal syariah, perbankan syariah, microfinance syariah, asuransi syariah, islamic fund dan produk keuangan sukuk. Lembaga dan produk keuangan syariah ini idealnya lahir dari rahim kajian ekonomi islam sebagai sebuah disiplin ilmu. Sebagaimana telah terjadi pada sistem ekonomi konvensional (kapitalisme) yang kemudian beranak pinak menghasilkan berbagai  institusi dan produk keuangan konvensional.
Permasalah vital yang ada dalam kajian dan pengembangan ekonomi islam saat ini adalah pertumbuhan institusi dan produk keuangan syariah lebih cepat dibandingkan dengan kajian tentang fundamental ekonomi islam sebagai sebuah disiplin ilmu. Bahkan kajian teori dan philosophy ekonomi islam yang gencar terjadi pada tahun 1970 dan 1980-an mengalami pergeseran pada tahun 1990 dengan lebih berorientasi pada wilayah-wilayah komersil seperti keuangan dan perbankan syariah. Akibatnya, terjadi kekurangan kajian philosophy dalam literatur ekonomi islam dan disaat yang bersamaan terjadi lonjakan pertumbuhan lembaga dan produk keuangan islam. Artinya adalah lembaga dan produk keuangan syariah yang ada saat ini tidak lahir dari fundamental ekonomi islam yang solid tapi mungkin lahir dari proses islamisasi atau replikasi produk lembaga dan keuangan konvensional yang sudah ada menjadi lembaga dan produk keuangan syariah.
Ada pertanyaan mendasar terhadap keberadaan ekonomi islam saat ini, yaitu apakah ekonomi islam bisa dikatakan sebagai sebuah disiplin ilmu? Apakah ekonomi islam sudah memenuhi kriteria sebagai sebuah ilmu? Pertanyaan ini ditanggapi oleh beberapa kelompok aliran yang tidak menganggap ekonomi islam sebagai sebuah disiplin ilmu.
Pertama, Mazhab Pembaharu Kapitalisme. Mazhab pemikiran ini beranggapan bahwa fundamental dari sistem ekonomi islam sama saja dengan sistem kapitalisme. Kapitalisme mengakui adanya hak kepemilikan, kebebasan untuk berusaha, dan kepercayaan pada mekanisme pasar dan hal ini diakui pula dalam sistem ekonomi islam. Mereka hanya menganggap ada bagian-bagian tertentu dalam sistem kapitalisme yang perlu disesuaikan sehingga bisa dikonfromikan dangan prinsip-prinsip islam. Penyesuaian itu terutama pada pembedaan antara produk halal dan haram, mengeluarkan riba pada sistem moneter dan memasukkan zakat dalam sistem fiskal. Jika penyesuaian ini telah dilakukan pada sistem kapitalisme maka akan sama saja dengan sistem ekonomi islam. Intinya, mazhab ini menganggap sistem ekonomi islam yang lagi marak saat ini adalah wajah lain dari sistem kapitalisme yang sudah diperbaharui dan disesuaikan, sehingga tidak perlu dianggap sebagai sebuah ilmu ekonomi baru.
Kedua, Mazhab Konevensional. Kelompok ini beranggapan bahwa terdapat perbedaan yang mendasar antara teori ekonomi islam dan ekonomi konvensional. Sistem ekonomi konvensional telah dibangun dari struktur fondasi dan teori yang solid serta teruji. Perbedaan inilah yang menjadi alasan ketidaklayakan ekonomi islam disebut sebagai ilmu. Sehingga mereka menganggap ekonomi konvensional adalah satu-satunya basis ilmiah dalam menciptakan dan menerapkan sistem ekonomi terapan.
Ketiga, Mazhab Sectarian Diversity. Kelompok ini menganggap ekonomi islam memiliki basis keilmuan yang lemah dan hanya berisi tentang keyakinan dan ajaran agama. Pengikut pemikiran ini beranggapan pula bahwa usaha untuk mengembangkan ekonomi islam hanya akan berujung pada konflik intelektual dikarenakan ekonomi islam tidak memiliki basis ilmiah yang kuat dan dalam tubuh islam itu sendiri terdiri dari perbagai sekta dan aliran pemikiran.
Sebagai tanggapan dari pemikiran-pemikiran di atas maka perlu dilakukan saintifikasi ekonomi islam secara serius sehingga menghasilkan struktur ilmu yang solid dan kuat yang darinyalah akan lahir berbagai teori-teori ekonomi islam, institusi dan produk keuangan syariah yang jeniune dari eksplorasi ajaran islam itu sendiri, bukan lagi hasil replikasi yang pada intinya bisa dibilang sama saja, hanya jenis kontrak dan niatnya yang berbeda.
Untuk membantah ketiga kelompok pemikiran di atas yang tidak mempercayai ekonomi islam sebagai sebuah disiplin ilmu bukanlah hal yang susah. Secara fundamental ekonomi islam sangat berbeda dengan ekonomi kapitalisme yang berdasarkan pada laissezefaire philosophy. Fundamental ekonomi islam menganggap individu sebagai khalifah Allah di muka bumi dengan tujuan untuk mendapatkan kemenangan (falah) di dunia dan akhirat serta semua tindak lakunya akan dipertanggungjawabkan kelak nanti. Dari perbedaan fundamental ini bisa menjadi justifikasi ilmiah untuk pengembangan ekonomi islam. Kelompok kedua menganggap ekonomi konvensional sangat jauh berbeda dengan ekonomi islam. Justru adanya perbedaan ini memungkinkan berkembangnya ekonomi islam sesuai dengan karakter dan prinsip dasarnya. Kelompok ketiga tidak mengakui ekonomi islam sebagai disiplin ilmu karena dalam islam terdapat berbagai macam sekta pemikiran, justru adanya berbagai perbedaan pemikiran ini mencerminkan tradisi ilmiah itu sendiri.
Berdasarkan pada struktur ilmu ekonomi yang dikembangkan oleh Thomas S. Kuhn dalam bukunya The Structure of Scientific Revolutions maka islam bisa dikategorikan sebagai sebuah disiplin ilmu. Adapun struktur ilmiah ekonomi islam adalah; secara fundamental ekonomi islam berakar pada nilai tawhid, rububiyyah, khilafah, tazkiyah dan accountability. Dari fundamental ini akan menghasilkan perilaku pelaku ekonomi yang dikenal sebagai muslim man.
Muslim adalah individu yang punya komitmen bahwa hidupnya diabdikan untuk mencapai kemenangan (falah) sebagai khalifah Allah di muka bumi. Seorang muslim meyakini apapun yang ada dalam kehiduapn ini hanyalah titipan dari Sang Maha Pencipta. Perilaku muslim ini akan mengantarkannya pada shariah sehingga terjadi interkonneksi antara perilaku individu dengan paradigma syariah. Paradigma syariah ini menjadi basis ilmiah untuk pengembangan sistem ekonomi islam. Pada akhirnya, ekonomi islam berhak berkembang berdasarkan prinsip dan karakternya sesuai struktur ilmiahnya yang menggunakan sebuah paradigma yang berbeda dengan paradigma ekonomi pasar pada ekonomi konvensional.
Ekonomi islam mengkaji persoalan-persoalan ekonomi dan bagaimana menyelesaikannya dalam bingkai perspektif islam (nilai, norma, aturan dan perintah dan larangan). Permasalah ekonomi klasik adalah ketidakseimbangan antara sumber daya alam dengan keinginan tak terbatas manusia, keterbatasan sumber daya alam dan ketidakterbatasan keinginan manusia, dan bagaimana pengalokasiannya? Menurut konsep ekonomi islam, Allah menciptakan kekurangan dan keberlimpahan secara bersamaan sehingga terjadi keseimbangan. Letak permasalahan ekonomi yang sebenarnya adalah pada perilaku manusia yang sering menciptakan ketidakseimbangan pengalokasian sumber daya alam yang tidak merata.
Perbedaan mendasar ekonomi islam dan ekonomi kenvensional pada aspek fundamental adalah self-interes versus huquq, utility versus maslahah dan rationality versus taqwa. Perbedaan-perbedaan mendasar ini akan menghasilkan perlaku ekonomi yang berbeda, ekonomi islam melahirkan muslim man dan konvensional menghasilkan economic man.
Saintifikasi ekonomi islam berbeda dengan islamisasi ilmu ekonomi. Saintifikasi ekonomi islam adalah usaha untuk mengkonstruksi strukur dan teori ekonomi islam berdasarkan pada sumber fundamental dan prinsip ajaran islam itu sendiri sedangkan islamisasi ilmu ekonomi menurut hemat saya adalah usaha untuk memasukkan nilai-nilai dan prinsip-prinsip dasar ajaran islam pada ilmu ekonomi yang sudah ada. Bagian pertama menghasilkan genuine produk sedangkan bagian kedua menghasilkan replikasi produk yang sudah dipurifikasi (memasukkkan unsur halal dan mengeluarkan unsur haram).
Dalam islamisasi ekonomi, kebanyakan orang terperangkap pada paradigma konvensional sehingga sulit membedakan antara westernalisasi islam melalui pencocokan ajaran islam terhadap ekonomi konvensional atau islamisasi paradigma konvensional. Stigmatisasi yang berkembang saat ini terhadap ekonomi islam (keuangan syariah) adalah arabisasi terhadap ekonomi konvensional (keuangan konvensional) yang pada substansinya tidak berbeda, yang membedakan hanya niat dan kontraknya saja.
Fokus utama yang harus dilakukan oleh islamic scholars adalah saintifikasi ekonomi islam bukan justru islamisasi ilmu ekonomi sehingga theory, institusi dan produk keuangan yang tercipta adalah hasil dari penggalian ajaran islam itu sendiri, bukan lagi sekedar duplikasi dan replikasi melalui “purifikasi” terhadap ekonomi konvensional. Penulis menyadari saintifikasi ekonomi islam membutuhkan waktu yang lama seperti apa yang terjadi pada ekonomi konvensional yang membutuhkan ratusan tahun sehingga bisa menjadi seperti saat ini walaupun masih memiliki berbagai kelemahan. Tapi melalui dengan usaha ini maka kita akan menampilkan wajah ekonomi islam yang sebenarnya bukan justru sekedar duplikasi dan replikasi yang kebanyakan masuk wilayah syubhat. Wallahu’alam Bissawab.
IIUM Gombak Kuala Lumpur, 3 Januari 2010

Kamis, 05 Januari 2012

Peran "Polisi Syariah" Diperluas


Oleh Ali Rama
Kehadiran Dewan Pengawas Syariah (DPS) dalam struktur organisasi Lembaga Keuangan Syariah (LKS) bertujuan untuk memastikan konsistensi penerapan ketentuan dan prinsip syariah dalam operasional dan produk LKS. Namun melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 13/23 Tahun 2011, peran DPS diperluas dan diharuskan terlibat dalam pengelolaan risiko di bank syariah. DPS semestinya memahami manajemen risiko (risk management) dalam perbankan syariah khususnya terkait dengan ruang lingkup pengawasan di bank syariah.
Sontak saja, aturan BI baru ini ditanggapi oleh sebagian anggota DSN-MUI tidak sesuai dengan amanat UU Perbankan Syariah dimana ruang lingkup kompetensi peran dan tanggung jawabnya sebagai “polisi syariah” dalam sebuah LKS.
Kenapa BI mengharapkan DPS terlibat dalam manajemen risiko bank syariah? Tentunya ini terkait dengan ruang lingkup perannya sebagai pengawas syariah yang harus memastikan prinsip syariah konsisten diterapkan bank syariah. Jika bank syariah melakukan pelanggaran syariah dalam operasional ataupun produk dan layanan maka ini akan berpotensi menciptakan customer migration (perpindahan nasabah) ataupun liquidity switching and withdrawal (perpindahan dan penarikan likuiditas) khsusunya oleh nasabah loyalis bank syariah.
Nasabah loyalis biasanya memilih bank syariah karena atas pertimbangan sentimen keagamaan (religious motive). Kebutuhan mereka akan transaksi keuangan yang halal dapat dipenuhi oleh perbankan syariah atau LKS lainnya. Namun jika reputasi kesyariahan suatu bank syariah sudah dipertanyakan lagi maka ini berpeluang menciptakan migrasi nasabah. Potensi risiko ini disebut sebagai reputational risk (risiko reputasi) atau biasa juga disebut sebagai shariah compliant risk.
Oleh karena itu konsistensi peran DPS sebagai “polisi syariah” dalam struktur sebuah LKS demi kemurniaan syariah tetap terjaga akan sangat membantu dalam mitigasi risiko migrasi nasabah. Tentunya, tugas DPS di manajemen risiko tidak sampai pada penghitungan detail tapi hanya sebatas pemahaman tehadap pengelolaan risiko.
Peran DPS
Lembaga keuangan syariah (LKS) baik perbankan, asuransi ataupun reksadana adalah lembaga keuangan yang beroperasi sesuai dengan ketentuan dan prinsip syariah. Untuk menjaga konsistensi operasi dan praktek terhadap syariah maka wajib bagi setiap LKS untuk memiliki institusi internal yang independen yang secara khusus menilai dan memastikan pemenuhan prinsip syariah atas pedoman operasional dan produk yang dikeluarkan bank dan hal ini sejalan dengan UU Perbankan Syariah No. 21/2008. Salah satu perbedaan yang mendasar dalam struktur organisasi bank konvensional dan bank syariah adalah adanya kewajiban memposisikan DPS pada perbankan syariah, sedangkan di bank konvensional tidak ada aturan yang demikian.
DPS pada dasarnya merupakan perpanjangan tangan Dewan Syariah Nasional (DSN) dalam merealisasikan sekaligus mengawasi penerapan fatwa-fatwa yang telah dikeluarkan oleh DSN terkait dengan perbankan, asuransi, pasar modal, reksadan, dan lain-lain. Jika ada bank syariah yang melanggar atau menyimpan dari garis panduan yang telah ditetapkan oleh DSN maka DPS bisa melakukan teguran dan melaporkan ke BI sebagai lembaga pengawas perbankan. Keanggotaan DPS ini biasanya terdiri dari 2 sampai 3 orang yang berkedudukan di kantor pusat LKS dimana dalam struktur perusahaan diletakkan pada posisi setingkat dengan Dewan Komisaris pada setiap perusahaan (LKS).
Tatakelola (governance) keberadaan DPS pada lembaga keuangan di berbagai negara berbeda-beda. Di Indonesia misalnya memiliki dewan syariah di tingkat nasional dan korporasi (perusahaan). DPS di tingkat korporasi adalah perpanjangan tangan dari Dewan Syariah Nasional. Fatwa DSN menjadi pijakan utama bagi setiap DPS menjalankan fungsi pengawasan di tingkat masing-masing korporasi. Sedangkan mayoritas di negara-negara Timur Tengah hanya memiliki Dewan Syariah (Shariah Board) di tingkat korporasi. Tatakelola seperti ini berpotensi untuk menciptakan perbedaan standarisasi kesyariahan. Bisa saja fatwa Dewan Syariah perusahaan A berbeda dengan perusahaan B. Buruknya lagi, perbedaan standarisasi kesyariahan ini tidak bisa “diseragamkan” karena tidak adanya Dewan Syariah Nasional sebagai rujukan utama atas sebuah fatwa produk dan layanan perbankan. Dari aspek governance tentunya keberadaan DPS di Indonesia masih lebih baik dari negara-negara di Timur Tengah.
Karena fungsinya sebagai pengawas aspek kesyariahan, maka persyaratan utama bagi keanggotaan DSN sudah seharusnya mereka yang memiliki kualifikasi integral dan multidisplin ilmu khususnya ilmu fiqhi muamalat dan ilmu ekonomi dan keuangan. Bahkan dengan aturan BI yang baru (PBI No. 13/23 Tahun 2011) setiap DSN harus mengerti aspek manajemen risiko yang dihadapi oleh perbankan syariah.
Permasalahan Yang Terjadi
Peran DPS sangat vital dalam mengawal kesyariahan LKS. Mereka menjadi pihak yang bertanggungjawab penuh jika ada lembaga perbankan atau lembaga keuangan lainnya yang menyimpan dari syariah. Namun fenomenan yang sering terjadi saat ini, di beberapa bank syariah misalnya peran vital dari DPS tidak berjalan sebagaiman mestinya. Mereka kadang gagal mengawasi praktek riil produk-produk yang dikeluarkan oleh bank. Bahkan terkadang pihak Bank Indonesia lebih cepat mengidentifikasi adanya transaksi-transaksi yang mencurigakan yang melanggar prinsip syariah dibandingkan dengan pengawas syariah yang ada di bank. Anggaplah kasus “berkebun emas” yang belakangan ini marak terjadi pada perbankan syariah. Pihak BI sudah sering kali memberikan warning adanya kecenderungan tindakan spekulasi dan penyalahgunaan kontrak gadai emas untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya.
Yang juga terjadi dilapangan saat ini adalah proses pengangkatan anggota DPS tidak didasari pada kompotensi keiilmuan di bidang ilmu ekonomi dan keuangan dan fiqhi muamalat, tapi teradang hanya didasari oleh ketenaran, ketokohan dan kharismanya di tengah masyarakat. Akibatnya, mereka tidak bisa melakukan fungsi pengawasan aspek kesyariahan praktek perbankan ataupun mengusulkan produk-produk inovatif yang sesuai syariah lantaran minimnya keilmuan dari segi fiqhi muamalat, perbankan, akuntansi, ekonomi dan aspek-aspek lainnya. “Intelectual mismatch” ini tidak hanya terjadi di lembaga keuangan syariah saja tapi juga banyak yang duduk di bangku komisaris perusahaan-perusahaan BUMN di negeri ini yang kadang ditempatkan di situ bukan karena kompotensinya dalam manajemen perusahaan atau industrinya tapi sebagai bentuk balas jasa politik belaka.
Permasalahan lain yang sering menjadi issu pada Dewan Pengawas Syariah yang tidak hanya terjadi di Indonesia adalah keterbatasan SDM. Jumlah stock ulama yang paham ekonomi dan perbankan secara mendalam atau ekonom yang memahami ilmu fiqhi muamalat sangat minim kuantitasnya. Pada tataran global, survey yang dilakukan oleh funds at work di negara-negara Teluk (GCC) menemukan ada 94 scholars menempati 467 posisi keanggotaan sebagai shariah board (dewan syariah) di berbagai perusahaan di GCC. Sekitar 54,18 persen posisi dewan syariah (shariah board) di negara-negara GCC hanya diisi oleh 11 persen oleh dewan syariah aktif. Contohnya misalnya, ada seorang scholar yang mejadi shariah board di 46 perusahaan sekaligus. Coba bayangkan ada seorang scholar harus mengawasi kesyariahan 46 perusahaan secara sekaligus. Apakah sanggup membaca puluhan laporan perusahaan secara detail yang jumlahnya setiap satu perusahaan bisa mencapai ratusan halaman. Bahkan mungkin karena kesibukan mereka tidak pernah membaca laporan perusahaan yang disajikan kepada mereka.
Solusi
Oleh karenanya, karena kita memahami kekurangan yang terjadi maka perlu dilakukan pembinaan dan pendidikan secara serius untuk memproduksi doktor dan ilmuan yang berkemampuan multidisiplin ilmu sebanyak-banyaknya khususnya integrasi keilmuan antara bidang fiqhi muamalat dan ekonomi sekaligus. Bagi mereka yang saat ini sudah menjabat sebagai DPS maka perlu mengupgrade keilmuannya khususnya pada dua bidang di atas supaya fungsi pengawasan bisa berjalan secara optimal.
Untuk meningkatkan fungsi dan peran DPS pada lembaga-lembaga keuangan syariah, maka kedudukan DPS sebaiknya menjadi profesi yang dijalankan secara profesional dalam rangka mengembangkan keuangan syariah di tanah air. Jika DPS bertindak secara full time maka merekapun harus punya staf teknis yang dapat membantu tugas dan wewenangnya. Mereka bisa bersinergi dengan pihak manajemen lembaga keuangan syariah untuk mengembangkan produk-produk inovatif syariah. Mereka juga perlu secara aktif mensosialisasikan konsep keuangan syariah kepada khalayak umum di setiap aktivitas yang dilakukannya. Jika hal ini dilakukan maka persepsi DPS sebagai “pajangan” saja bisa ditepis dengan sendirinya. Wallahu’alam bissawab.
Jakarta, 24 Desember 2012

Selasa, 03 Januari 2012

Manajemen Risiko Bank Syariah

Oleh Adiwarman Karim


Pertengahan Desember ini ada dua pertemuan penting di Bahrain. Pertama, Rountable Meeting yang dilaksanakan oleh Islamic Financial Services Board bersama bank sentral Bahrain, yang membahas manajemen risiko perbankan syariah. Kedua, pertemuan Dewan Syariah International Islamic Financial Market, yang membahas mitigasi risiko perbankan syariah melalui instrument hedging yang sesuai syariah.

Perkembangan industri keuangan syariah yang demikian masif di berbagai negara, telah mengantarkan industri ini pada kesadaran yang lebih tinggi akan pentingnya mengelola risiko yang muncul atau diantisipasi akan muncul. Kecenderungan pengembangan produk-produk keuangan syariah global yang mengambil produk-produk keuangan konvensional sebagai basis, tentunya setelah dimodifikasi agar sesuai dengan syariah, menambah tinggi kesadaran itu.

Para pegiat keuangan syariah tentu tidak ingin industri keuangan syariah mengalami krisis yang sama seperti yang telah terjadi di keuangan konvensional. Kedua pertemuan itu memberikan pesan yang sama, "Melakukan sesuatu yang sesuai syariah harus selalu diikuti dengan memilih yang terbaik di antara pilihan sesuai syariah yang ada."

Sejumlah peserta mengangkat beberapa kasus produk keuangan syariah yang akhirnya bermasalah. Produk keuangan syariah yang bermasalah itu dikembangkan dengan mengambil basis produk keuangan konvensional. Ketika masalah sejenis itu terjadi di sistem keuangan konvensional, mereka telah memiliki solusinya.

Celakanya, ketika masalah sejenis itu timbul di sistem keuangan syariah, solusi yang sama tidak dapat dilakukan di sistem keuangan syariah. Lebih jelasnya, ketika terjadi gagal bayar di keuangan konvensional, penerbitan produk derivatif dapat menjadi solusi sementara.  Sedangkan di keuangan syariah produk derivatif sulit untuk dimodifikasi menjadi produk yang sesuai syariah.

Kesadaran akan pengelolaan risiko pada perbankan syariah di Indonesia juga semakin baik. Kita ambil contoh produk gadai emas syariah. Selama lebih dari 15 tahun perbankan syariah beroperasi di Indonesia, produk gadai emas syariah tidak pernah mendapat perhatian sebesar hari ini. Berbagai inovasi telah dilakukan oleh perbankan syariah sehingga produk gadai emas syariah mengalami pertumbuhan yang fenomenal.

Produknya sendiri sangat sederhana dan mirip dengan produk yang ditawarkan Perum Pegadaian yang telah dikenal di Indonesia sejak 100 tahun yang lalu. Seorang calon nasabah memiliki emas dan membutuhkan uang tunai untuk suatu keperluan mendesak. Emas digadaikan, nasabah menerima uang, emas dititipkan ke bank syariah, bank syariah mengenakan biaya penitipan emas.

Ketika jatuh tempo, nasabah menebus emasnya. Sesederhana itu.  Tidak terdengar riuh rendah ketika produk ini mulai ditawarkan ke pasar. Kita katakan saja inilah tahap pertama dari perkembangan produk Gadai Emas Syariah.

Tahap kedua evolusi produk gadai emas syariah dimulai secara tidak sengaja. Ketika nasabah yang seharusnya menebus emasnya pada saat jatuh tempo, ternyata tidak mampu untuk menebusnya. Berbeda dengan kelaziman, bank syariah akan melakukan gadai ulang. Emas tersebut secara prinsip ditebus nasabah, segera selanjutnya emas tersebut digadaikan kembali ke bank.

Nasabah membayar selisih antara uang tebusan yang harus dibayarnya dengan nilai gadai ulang yang seharusnya diterimanya. Tentu dengan memperhitungkan juga biaya penitipan emas yang harus dibayar nasabah.

Perubahan ke tahap kedua telah mengubah profil risiko produk gadai emas. Bila proses gadai ulang berlanjut kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya, risikonya bertambah besar mirip dengan risiko fasilitas kredit evergreen di sistem bank konvensional. Risiko gadai emas syariah di mana bank memegang emas sebagai jaminan setara dengan risiko kredit evergreen back to back bank konvensional dengan jaminan deposito.

Tahap ketiga evolusi produk gadai emas syariah diawali dengan keinginan nasabah memiliki lebih banyak emas. Ketika nasabah menerima uang hasil menggadaikan emasnya, ia membeli emas berikutnya yang selanjutnya digadaikan juga ke bank. Biasanya dengan menambah sejumlah uang untuk kuantitas emas yang sama, atau bila tidak ingin menambah sejumlah uang, nasabah membeli emas dengan kuantitas yang lebih kecil. Sama dengan tahap kedua, pada saat jatuh tempo nasabah menggadai ulang emas-emasnya tersebut.

Risiko pada tahap ketiga ini sama sifatnya dengan risiko pada tahap kedua, hanya saja besarannya lebih besar karena bertambah besarnya kuantitas emas yang digadaikan. Dari segi keamanan bank, untuk meminimalkan kerugian ketika terjadi gagal bayar, memang bank relatif aman karena memegang jaminan emas yang likuid. Hal ini sebenarnya sama dengan kredit yang dijamin dengan deposito yang juga likuid. Namun, jaminan ini tidak mencegah terjadinya risiko gagal bayar, tidak juga mengubah sifat risiko.

Rasio pembiayaan bermasalah di Perum Pegadaian memang kecil, begitu pula rasio yang sama untuk produk gadai emas syariah di perbankan syariah. Namun, semakin sering dilakukan proses gadai ulang, semakin besar risiko gagal bayar. Sehingga rasio yang kecil pada tahap pertama evolusi kemungkinan besar akan meningkat pada tahap kedua bahkan semakin besar lagi pada tahap ketiga evolusi produk ini. Risiko akan semakin besar bila memasuki tahap keempat evolusi, yaitu ketika nasabah membeli emasnya secara cicilan pula.

Mari kita beralih ke produk lain, Ijarah Mumtahiya Bit Tamlik (IMBT). Produk ini sama sederhananya. Nasabah ingin memiliki rumah, misalnya. Nasabah membayar cicilan bulanan, besarnya dapat berubah dari waktu ke waktu sesuai kesepakatan. Pembayaran cicilan dari nasabah ini, sebagian diakui sebagai pendapatan dan sebagian lagi diakumulasi untuk pada akhirnya digunakan sebagai pelunasan kewajiban nasabah.

Risiko produk ini sebenarnya mirip dengan risiko financial leasing di sistem keuangan konvensional, mirip dengan risiko kredit jangka panjang dengan cicilan pokok pada bank konvensional. Namun, sebagai produk syariah dengan paradigma syariah, tentu cara pencatatan produk ini berbeda dengan yang konvensional.

Cicilan pokok nasabah untuk pelunasan dicatat sebagai biaya penyusutan yang akumulasinya di akhir periode untuk pelunasan. Sifat risiko berubah ketika "biaya penyusutan pembiayaan IMBT" ini dianggap sama dengan "biaya penyusutan aktiva tetap". Implikasi pajaknya sangat berbeda karena "biaya penyusutan pembiayaan IMBT" tidak dapat dianggap biaya dalam kaca mata pajak sebagaimana "biaya penyusutan aktiva tetap". Substansinya, ia adalah kumulasi cicilan nasabah untuk melunasi kewajibannya.

Keinginan untuk meniru atau berbeda dengan produk keuangan konvensional, sama-sama menimbulkan risiko yang unik. Dua pertemuan di Bahrain itu merekomendasikan pentingnya mengembangkan manajemen risiko khas keuangan syariah.

Diterbitkan di opini Republika (2/1/2012)

Proyeksi Perbankan Syariah 2012

Ali Rama
Pengurus Pusat Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI)     
Industri keuangan syariah, khususnya perbankan syariah, terus berkembang dalam beberapa tahun terakhir. Dengan kondisi makro ekonomi yang relatif stabil, peningkatan investment grade dan pertumbuhan ekonomi yang diperkirakan masih di atas enam persen di tahun mendatang, maka prospek industri keuangan syariah pun akan semakin menjanjikan di masa-masa mendatang.
Meskipun market share total aset perbankan syariah dibandingkan total aset perbankan nasional belum mampu menembus angka lima persen seperti yang dicanangkan dalam Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syariah Indonesia tahun 2001. Akan tetapi, jika dilihat dari segi pertumbuhan industri perbankan syariah cukup mengesankan dan sangat menjanjikan masa depan yang lebih baik.
Rata-rata pertubuhan aset perbankan syariah selama lima tahun terakhir mencapai 40 persen, jauh melampaui pertumbuhan perbankan konvensional yang hanya sekitar 20 persen. Berdasarkan data statistik perbankan syariah Bank Indonesia bulan Oktober 2011, total aset perbankan syariah sebesar Rp 125,5 triliun, naik dari 2010 yang hanya sekitar Rp 97,5 triliun.
Adapun besar pangsa pasarnya terhadap perbankan nasional sudah mencapai 3,68 persen, naik sekitar 0,5 persen sepanjang 2011. Persentase pertumbuhan ini sudah perlahan-lahan mendekati angka lima persen. Sementara, dana pihak ketiga dan pembiayaan yang diberikan masing-masing mencapai Rp 101,7 triliun dan Rp 96,9 triliun dengan tingkat financing to deposit rasio (FDR) sekitar 94 persen.
Sedangkan dari segi jumlah pemainnya, perbankan syariah tidak mengalami penambahan yang berarti dalam kurung satu tahun terakhir. Dari 2010 ke 2011, tidak terjadi penambahan jumlah Bank Umum Syariah (BUS), begitu pula dengan Unit Usaha Syariah (UUS), yaitu berjumlah tetap 11 BUS dan 23 UUS. Yang mengalami peningkatan hanya jumlah Badan Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) yang mencapai 153 bertambah tiga dari tahun sebelumnya. Akan tetapi, dari segi perluasan jaringan kantor cukup tinggi, mecapai 1.354, 301 dan 362 untuk masing-masing BUS, UUS, dan BPRS.
Sementara itu, dari segi kinerja, perbankan syariah menunjukkan kinerja yang cukup baik. Kinerja Return on Assets (ROA) mengalami peningkatan mencapai 1,62 pada akhir oktober 2011. Sedangkan rasio kecukupan modalnya cukup aman di posisi 15,30 persen.


Outlook 2012

Krisis keuangan yang melanda negera-negara Eropa dan Barat saat ini akan berkontribusi besar dalam perlambatan pertumbuhan ekonomi global pada 2012. Situasi tahun depan akan masih diwarnai oleh prahara keuangan yang terjadi di negara-negara Eropa yang sebagiannya saat ini sebenarnya sudah masuk dalam zona kebangkrutan atau negara gagal. Namun, dampak krisis global terhadap perekonomian Indonesia diperkirakan tidak terlalu signifikan berpengaruh lantaran basis utama pertumbuhan ekonomi domestik lebih didominasi oleh konsumsi dalam negeri yang mencapai angka 60 persen. Bahkan, di akhir tahun, Indonesia mendapat kado istimewa dari lembaga pemeringkat internasional, Fitch Rating, dengan menaikkan level Indonesia ke level investment grade, menjadi BBB- dari BB+ dengan outlook stabil.
Perekenomian Indonesia meskipun sebagian kalangan telah mengoreksi prediksinya atas kemungkinan dampak second arround effect dari krisis keuangan Eropa dengan hanya akan tumbuh di kisaran 6,2 persen, namun pihak pemerintah masih optimistis kalau ekonomi Indonesia masih akan tumbuh sebesar 6,5 persen pada 2012. Apalagi, jika Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) mulai gencar dilakukan di enam sektor koridor ekonomi yang telah dicanangkan tahun depan.
Optimisme pertumbuhan ekonomi Indonesia tentunya akan berpengaruh terhadap perkembangan perbankan syariah di Tanah Air. Bahkan, berdasarkan kategori Islamic Finance Country Index pada tahun ini, Indonesia berada pada urutan keempat di bawah Iran, Arab Saudi, dan Malaysia yang telah dikenal selama ini sebagai pemain utama dalam industri keuangan syariah global.
Prediksi yang lebih optimistik dilakukan oleh Karim Business Consulting yang meyakini Indonesia akan menjadi pemain utama dan menjadi yang terbesar dari lima besar keuangan syariah global dalam dua dekade mendatang. Pada 2023, Indonesia diperkirakan memimpin industri keuangan syariah global dengan total aset mencapai 8,6 triliun dolar AS. Sementara, aset pebankan syariahnya mencapai 1.597 triliun dolar AS (Islamic Finance Intelligance Summit, 2011).
Optimisme ini tidak mengada-ada. Menurut pengamat ekonomi syariah, Adiwarman Karim, setidaknya ada empat industri berbasis syariah yang akan terus berkembang di Indonesia, yaitu industri busana Muslim, industri halal food, industri media bernuansa religi, dan industri keuangan syariah.
Perkembangan industri berbasis syariah ini tidak terlepas dari jumlah penduduk Indonesia yang mayoritasnya Muslim, sekitar 180 juta ketika tren religiositasnya saat ini mengalami peningkatan kesadaran untuk kembali kepada ajaran Islam. Mereka haus dengan berbagai bentuk produk dan layanan yang melambangkan identitas keagamaanya.
Dengan jumlah pangsa pasar 3,67 persen saja, jumlah nasabah bank syariah sudah mencapai sekitar 10 juta atau sekitar 16 persen dari total nasabah perbankan nasional yang jumlahnya mencapai 60 juta. Ini sudah hampir menyamai jumlah penduduk Muslim Malaysia yang total penduduknya hanya sekitar 24 juta penduduk.


Pasar yang fokus

Menurut perkiraan Bank Indonesia, pada 2012, industri perbankan syariah akan kedatangan pemain baru. Diperkirakan sedikitnya ada dua bank yang berpotensi menjadi BUS dan satu bank akan membuka UUS, yaitu Bank Tabungan Pensiunan Nasional (BTPN) dan Bank Internasional Indonesia (BII) yang akan menjadi BUS, sedangkan Bank Saudara dengan akuisisi tiga BPRS akan membuka layanan UUS. Tentunya, penambahan jumlah pemain akan semakin mengakselerasi pertumbuhan aset perbankan syariah di Tanah Air.
Di masa mendatang, pelaku perbankan syariah akan lebih pada polarisasi segmen pasar. Bank syariah akan fokus menggarap segmen pasar tertentu, misalnya BNI syariah akan lebih konsen ke konsumer ritel, BCA syariah lebih fokus pada UMKM, dan begitu pula dengan BSM dan BMI. Polarisasi ini tentunya akan sangat efektif dalam mengembangkan sektor ekonomi riil yang menjanjikan tingkat keuntungan yang lebih baik.
Bank syariah perlu melakukan inovasi dan meningkatkan daya kreatif dalam produk dan layanan untuk menumbuhkan industrinya. Pelaku perbankan syariah harus berani masuk ke pembiayaan besar, seperti proyek infastruktur. Perbankan syariah sebaiknya berpartisipasi dalam mega proyek MP3EI yang telah digagas pemerintah dengan membentuk konsorsium atau sindikasi melalui kerja sama antarbank syariah ataupun menggandeng Islamic Development Bank (IDB).
Diversifikasi produk bank syariah juga perlu dilakukan demi menangkap peluang masuknya dana-dana asing yang akan diperkirakan terus mengalir ke Indonesia setelah kenaikan peringkat status investment grade Indonesia. Dana-dana asing itu bisa dikanalisasi ke pembiayaan sektor riil.
Langkah positif yang dilakukan oleh pelaku perbankan syariah yang hasilnya akan dinikmati di masa mendatang adalah iklan layanan perbankan syariah yang sudah meluas. Selama ini, iklan bank syariah hanya hadir saat Ramadhan atau momentum perayaan Islam saja, tetapi saat ini sudah mulai gencar dilakukan diberbagai acara nonkeagamaan, misalnya mensponsori acara-acara olahraga.
Tulisan ini diterbitkan di opini Republika (3/1/2012)

Arab Spring Versi Eropa

Ali Rama
Pengurus Pusat Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI)
Seorang anak muda bernama Mohamed Bouazizi yang membakar diri sebagai bentuk protes atas sempitnya lapangan pekerjaan menjadi pemicu lahirnya revolusi di Tunisia yang pada akhirnya menggulingkan penguasanya, Ben Ali, yang telah berkuasa puluhan tahun. Aksi bakar diri pemuda ini tidak hanya membakar Tunisia, tetapi juga apinya menjalar ke seluruh dunia Arab.
Revolusi ini kemudian memakan korban selanjutnya, yaitu Husni Mubarak di Mesir dan Muamar Qadafi di Libya, yang dipaksa turun dan menyerahkan kekuasaan kepada rakyatnya. Revolusi yang sudah berkembang menjadi revolusi Timur Tengah ini masih terus bergejolak di negara-negara Arab lainnya sampai saat ini, seperti Suriah dan Yaman, yang sudah menelan ratusan bahkan sampai ribuan korban. Tampaknya, revolusi Arab ini akan terus mengalir sampai menggulingkan penguasa tirani yang masih bercokol di kawasan Timur Tengah.


Jadi inspirasi

Pergolakan Arab yang dikenal sebagai Arab spring menginspirasi lahirnya gerakan occupy Wall Street di beberapa kota yang ada di Amerika Serikat (AS). Gerakan menduduki Wall Street ini kemudian menjalar ke sebagian negara Eropa dan Asia. Rakyat yang terpisah secara geografis, budaya, dan bahasa menunjukkan reaksi yang sama menuntut perbaikan hidup.
Rasa frustasi dari ketimpangan ekonomi antara si kuat dan si lemah atau si kaya dan si miskin terlihat dari segi kekuasaan maupun penguasaan sumber-sumber ekonomi. Arab spring maupun occupy Wall Street yang melibatkan massa besar tidak bisa dianggap remeh karena akan berakibat pada penggulingan kekuasaan jika tidak diikuti dengan respons atas tuntutan mereka.
Gerakan menduduki Wall Street adalah gerakan kekuatan rakyat yang dimulai pada 7 September 2011 di Liberty Square Manhattan dan sudah tersebar ke beberapa kota di AS dan kota-kota negara lain. Gerakan ini sebagai bentuk perlawanan terhadap kerakusan perbankan dan perusahaan multinasional yang telah menggerus keuntungan di tengah-tengah proses liberalisasi atas nama demokrasi di seluruh penjuru dunia, serta peranan Wall Street dalam menciptakan kekacauan ekonomi dan keuangan saat ini.
Kebebasan yang berlebihan telah memberikan ruang yang besar terhadap sistem kapitalisme menguasai seluruh sendi kehidupan manusia. Akibatnya, satu persen penduduk kaya dunia telah menguasai dan mengendalikan ekonomi global secara tidak adil. Sisa 99 persen lainnya yang menamakan diri sebagai We are the 99 percent menjadi korbannya, misalnya, kurangnya lapangan pekerjaan, gaji yang rendah, polusi lingkungan, biaya pendidikan, dan kesehatan yang tinggi serta terusir dari rumah karena gagal bayar kredit perumahan.
Pada sisi lain, krisis utang dan keuangan yang melanda beberapa negara Eropa yang juga tidak lepas dari kontribusi keserakahan sistem kapitalisme memicu lahirnya babak baru Arab spring versi Eropa. Krisis utang telah membenamkan Yunani ke dalam tumpukan utang yang mencapai 480 miliar euro, yang berarti dari 11 juta penduduk negeri itu masing-masing satu orang menanggung 31 ribu euro utama. Rasio utang terhadap PDB-nya sudah mencapai 160 persen. Kegagalan Yunani menyelesaikan persoalan ekonomi dan nasib rakyatnya berakibat pada pengunduran diri perdana menterinya, George Andreas Papandreou.
Nasib yang sama juga dialami oleh Perdana Menteri Italia Silvio Berlusconi. Ia mundur dari jabatan yang telah didudukinya selama 17 tahun akibat gagal memperbaiki kondisi ekonominya yang semakin memburuk. Lagi-lagi banjir utang yang mencapai 120 persen dari GDP-nya membuat masyarakat Italia muak atas Berlusconi.
Badai Eropa spring tampaknya juga akan menghantui negara-negara Eropa lainnya yang sudah masuk pada zona krisis utang, seperti Portugal, Irlandia, Inggris, dan Spanyol yang rasio utangnya sudah di ambang 100 persen. Kondisi kritis ini tidak akan usai untuk beberapa saat ke depan. Kondisi ini kemudian diperparah oleh sifat individualistik negara-negara Eropa lainnya yang cenderung melindungi kepentingan domestiknya daripada saling menolong di antara mereka.
Krisis utang di zona Eropa membuka mata kita bahwa ekonomi Eropa tidaklah setangguh yang dibayangkan selama ini. Ekonominya bagaikan house of cards (rumah kartu) alias perekonomian dibangun di atas fondasi utang. Sistem keuangan ini membantu mengalirkan ‘darah’ ke jantung perekonomian negara Eropa dengan cara menyedot likuiditas dari luar dalam jumlah yang besar untuk menggerakkan perekonomian Eropa dan membiayai defisit anggaran pemerintah.
Secara sederhana, defisit terjadi lantaran negara tersebut membelanjakan uang lebih banyak dari apa yang dihasilkan. Di sisi lain, kondisi ini menginformasikan bahwa perekonomian Eropa dibiayai dari tumpukan utang luar negeri.


Simbol kegagalan

Prahara yang terjadi di negara-negara Eropa, baik dalam bentuk tuntutan penutupan Wall Street sebagai lambang kapitalisme maupun krisis utang yang berujung pada tuntutan mundur perdana menterinya, sebenarnya sebagai simbol kegagalan kapitalisme di episentrum negara penganutnya. Sistem kapitalisme yang dibanggakan selama ini gagal menciptakan kesejahteraan bagi masyarakatnya.
Justru yang terjadi adalah krisis demi krisis yang selalu terjadi berulang kali dan menghasilkan korban berupa pengangguran, kenaikan harga, penjarahan, sosial kriminal, dan kemiskinan yang semakin akut. Menurut diskusi Ikatan Ahli Ekonomi Islam, sepanjang abad ke-20 telah terjadi lebih dari 20 kali krisis besar yang melanda negara Amerika Latin, Eropa, Asia, dan AS. Dan, krisis ini akan terus lahir dari rahim sistem kapitalisme.
Sistem kapitalisme ini telah melahirkan ketidakseimbangan ekonomi, penguasaan kekayaan ekonomi hanya di tangan segelintir orang kaya, dan ekonomi hanya didominasi oleh sektor keuangan tanpa menyentuh sektor ekonomi riil. Struktur ekonomi negara dibangun di atas tumpukan utang yang dihantui oleh kondisi gagal bayar di tengah ketidakpastian ekonomi saat ini, khususnya krisis utang di negara Barat dan Eropa.
Kondisi inilah yang menggerakkan sebagian masyarakat Eropa untuk menduduki dan membubarkan Wall Street sebagai simbol kapitalisme. Ujung dari prahara dan krisis utang ini adalah tuntutan mundur pemimpin negara karena gagal memperbaiki kondisi ekonominya. Arab dan Eropa spring adalah sama-sama gerakan kesadaran masyarakat yang menuntut kesejahteraan dan perbaikan nasib hidup yang lebih baik.
Tulisan ini diterbitkan di opini koran Republika
Jumat, 25 November 2011 pukul 10:14:00 (http://koran.republika.co.id/koran/24)

Kerancuan Praktik ‘Berkebun Emas’

Ali Rama
Pengurus Pusat Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI)
Kenaikan harga emas beberapa waktu belakangan ini membuat banyak orang beramai-ramai menjadikan emas sebagai instrumen investasi karena menjanjikan keuntungan yang lebih baik. Harga emas 10 tahun terakhir tumbuh 40 persen per tahun. Harga emas yang tinggi dan terus naik dari waktu ke waktu juga membawa berkah untuk perbankan yang menyediakan produk jasa gadai emas syariah.
Menurut data dari Bank Indonesia, transaksi gadai emas syariah di industri perbankan syariah tumbuh hingga 15 persen sampai akhir semester I-2011. Hingga Juli 2011, total transaksi akad qardh pada perbankan syariah mencapai Rp 7,5 triliun atau 8,9 persen dari total pembiayaan yang diberikan sebesar Rp 85 triliun. Sementara, porsi bisnis gadai emas syariah berada pada kisaran tiga sampai enam persen dari total pinjaman. Hasilnya, perbankan meraup keuntungan yang besar dari transaksi tersebut.
Semakin harga emas naik, peminat gadai emas syariah semakin banyak. Sebab, saat ini gadai emas syariah sudah menjadi salah satu pilihan instrumen investasi. Gadai emas syariah berfungsi sebagai tempat penitipan emas yang akan diambil nasabah dalam waktu tertentu. Nasabah meyakini, saat emas simpanannya diambil, harga emas sudah naik. Kenaikan harga emas akan menutupi bahkan melebihi biaya penitipan yang dikenakan oleh perbankan syariah kepada nasabah. Margin tersebut menjadi keuntungan nasabah.
Harga emas saat ini berada pada kisaran 1.747 dolar AS, bahkan pernah mencapai angka 1.923 dolar AS per troy ounce. Sebagian orang menganggap, investasi emas cocok dipakai sebagai pelindung nilai kekayaan. Emas nilainya cenderung stabil dan dianggap tidak mempunyai efek inflasi atau biasa disebut save heaven. Artinya, membeli emas dan menabung dalam emas merupakan aset yang paling aman dan stabil.
Kenaikan emas saat ini juga tidak terlepas dan dipengaruhi, antara lain, oleh spekulasi memburuknya krisis utang di negara-negara Eropa dan turunnya proyeksi pertumbuhan ekonomi global. Konsekuensinya, para investor berlomba memburu emas untuk melindungi investasi mereka.
Kepentingan komersial
Kecenderungan kenaikan harga emas dan tingginya minat masyarakat untuk berinvestasi emas direspons oleh perbankan syariah melalui layanan gadai emas syariah. Industri perbankan syariah mendapatkan untung dari biaya administrasi penitipan emas di safe deposit box bank. Kenaikan transaksi gadai emas syariah pada berbankan syariah memunculkan istilah ‘berkebun emas’. Skim gadai emas syariah digunakan sebagai sarana untuk meraup keuntungan oleh investor dan pelaku perbankan syariah di tengah kenaikan harga emas dunia saat ini.
Penggunaan produk layanan gadai emas syariah untuk kepentingan komersial dan bisnis (tijarah) dianggap melanggar prinsip dasar dari gadai emas syariah yang tujuan utamanya bersifat sosial (tabarru’), bukan untuk mencari keuntungan. Hakikatnya, produk gadai emas pada perbankan syariah adalah untuk membantu orang yang kesulitan keuangan jangka pendek, lalu mereka mendapatkan pinjaman (al-qard) dengan jaminan gadai emas (rahn emas) dengan kewajiban untuk membayar biaya penitipan emas dengan skim ijarah. Skema akad ini diatur dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) Nomor 26 tentang Rahn Emas dan Qardh Nomor 19.
Dalam Fatwa DSN Nomor 26, gadai emas (rahn emas) menggabungkan tiga bentuk transaksi, yaitu transaksi qardh, al-rahn, dan ijarah. Pinjaman jangka pendek yang diberikan kepada nasabah menggunakan skim qardh (pinjaman tanpa bunga), di mana emas sebagai jaminan atas pinjaman tersebut menggunakan skim rahn. Sementara itu, ongkos dan biaya penyimpanan barang (emas) yang dikenakan kepada nasabah didasarkan pada skim ijarah.
Rekayasa finansial yang dilakukan dalam bentuk ‘kebun emas’ jelas tidak sejalan dengan fatwa DSN tersebut. Menggunakan produk gadai emas syariah untuk kepentingan komersial dan bisnis ini justru akan mengganggu produk-produk perbankan syariah lainnya, seperti pembiayaan bagi hasil dan murabahah.
Pembiayaan qardh hanya sebagai pelengkap, bukan sebagai pembiayaan utama dari perbankan syariah. Sehingga, qardh tidak digunakan secara terus-menerus untuk rahn. Apalagi, jika portofolio pembiayaan qardh (gadai emas) ini semakin membesar, justru akan mengarah pada kegiatan spekulasi dan bubble, yang pada akhirnya tidak menyentuh sektor riil.
Jika perbankan syariah cenderung untuk memperbesar portofolio produk berbasis gadai emas syariah ini dengan motif ‘berkebun emas’. Hal ini justru membuat perbankan syariah secara perlahan-lahan menjadi lembaga pegadaian dan toko emas. Tentunya, bertentangan dengan tujuan utamanya sebagai lembaga intermediasi yang mengembangkan sektor ekonomi riil.
Perlu pengawasan
Sebagai respons atas fenomena ‘berkebun emas’ di perbankan syariah, Bank Indonesia sebagai pihak regulator dan pengawas perbankan perlu melakukan kontrol dan pengawasan secara ketat supaya portofolio pembiayaan ini tidak menjadi produk utama pada perbankan syariah. Pengawasan yang dilakukan tentunya harus penuh kehati-hatian, jangan sampai justru mematikan daya inovasi dan kreativitas pelaku perbankan syariah dalam penyaluran pembiayaan kepada nasabah atau masyarakat.
Untuk mencegah terjadinya praktik ‘berkebun emas’, Bank Indonesia perlu melakukan pengaturan pada pelaku perbankan syariah, misalnya, pembatasan portofolio gadai emas yang tidak lebih dari 10 persen dari total pembiayaan yang diberikan. Pembiayaan qardh hanya sebagai pelengkap dari transaksi utama. Frekuensi berapa kali emas boleh digadaikan juga perlu dibatasi. Transaksi hanya boleh dilakukan sekali dan tidak boleh berkali-kali. Menggadaikan emas secara berkali-kali pasti motif utamanya adalah untuk ‘berkebun emas’ dan ini berpotensi menciptakan spekulasi dan bubble.
Yang perlu dipertegas di sini adalah transaksi gadai emas syariah yang ditawarkan oleh perbankan syariah itu tidak melanggar prinsip syariah selama sesuai dengan ketentuan dari fatwa DSN. Jual beli emas dan rahn emas itu dibolehkan. Masalah utamanya adalah jika aktivitas ‘berkebun emas’ menjadi prioritas dan portofolio yang dominan dalam pembiayaan perbankan syariah. Karena, ini akan bertentangan dengan fungsi utama perbankan syariah sebagai penggerak sektor ekonomi riil.
Tulisan ini diterbitkan di Opini Republika (12/11/2011)
(http://koran.republika.co.id/koran/24)